Catatan dari Kajian Forum Pengkajian Psikologi Islam
(11 Desember 2008)
(11 Desember 2008)
Mati Suri, dapat diartikan sebagai keadaan di mana
seseorang dihidupkan kembali setelah mengalami kematian (secara fisiologis).
Istilah mati suri tidak serta merta hadir tanpa adanya penjelasan, istilah ini
muncul justru karena terjadi di sebagian kecil masyarakat kita. Dan karena kita
semua pun paham bahwa definisi hadir karena suatu
kondisi?!
Saya bisa ceritakan sedikit kisah tentang mati suri
yang sedikit banyak saya ketahui untuk kemudian mengkajinya, beberapa kisah
tersebut berasal dari majalah hidayah, buku dan kisah dari seorang teman dan
guru. Entah benar atau tidak semua kisah tentang mati suri tersebut, tapi bagi
saya jika hal ini bermanfaat dan memberi pelajaran, maka tak ada salahnya saya
mempercayainya dan lebih jauh mengkritisi untuk mengkajinya lebih dalam.
Suatu kali salah seorang pemuda di suatu daerah
dinyatakan meninggal secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas, baik penyakit atau apapun itu. Maka
keluarga sangat terpukul dengan kematian salah seorang anggota keluarganya
tersebut, namun mereka pasrah dan menerima kenyataan yang dihadapkan Tuhan
kepadanya. Dilaksanakanlah prosesi pemakaman dan dikuburkannya pemuda itu di
salah satu tanah pekuburan. Sejak kematian itu, maka di rumah almarhum,
diadakan yasinan dan pembacaan do’a demi keselamatan arwah yang meningal. Namun
secara mengejutkan, pada beberapa hari setelah kematiannya, tiba-tiba pemuda
yang meninggal itu muncul di hadapan orang-orang yang sedang mendo’akannya. Mereka kaget bukan kepalang, namun “almarhum” bisa menjelaskan bagaimana ia bisa dihidupkan kembali setelah mengalami kematian. Rupanya ia memang mengalami proses kematian,
dan proses dihidupkan kembali ke dunia. Ia melihat keadaan di alam kubur,
bertemu malaikat hingga pada akhirnya makamnya digali oleh seseorang karena
mendengar teriakan tolong dari dalam kubur. Malaikat yang ditemuinya mengatakan
(kurang lebih), “Kamu masih muda untuk dipanggil oleh Allah, perbaikilah
amalanmu dan perintahkan manusia untuk shalat dan beramal shalih”.
Ya, kurang lebih seperti itu, dan setiap orang yang
mengalami mati suri, sikapnya banyak berubah dari keadaan sebelumnya, artinya
jauh lebih baik karena rupanya ia memaknai jauh lebih baik tentang kehidupannya
dibandingkan manusia-manusia yang tidak pernah mengalami bagaimana rasanya
“mati”.
Lalu bagaimana psikologi menjelaskan hal ini?? Apa pendekatan yang mungkin untuk menjelaskannya?? Apakah
fenomena ini pada hakikatnya hanya terjadi karena (menurut Bu Rena)
distorsi-distorsi dalam pikirannya?? Apakah juga mati suri hanya khayalan-khayalan manusia yang berlebihan karena faktor
tekanan-tekanan dalam menghadapi permasalahan hidup?? Ataukah ini fenomena
suprarasional sehingga terlalu jauh psikologi untuk bisa menjelaskannya??
Bilakah ini masih mungkin dibahas oleh Psikologi, maka saya perumpamakan mati suri sebagaimana halnya mimpi saat manusia tidur. Persamaanya adalah, mati suri dan tidur sama-sama manusia yang berada dalam keadaan mati. Pengalaman tidur adalah mimpi dan pengalaman mati suri adalah perjalanan kematian yang luar biasa. Mati suri dan mimpi juga sama-sama menjelaskan fenomena tentang manusia yang dihidupkan kembali.
Dalam
Al-Qur’an Allah berfirman:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan
(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka dia tahanlah
jiwa (orang) yang Telah dia tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang
lain sampai waktu yang ditetapkan [*]. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (QS. Az-Zumar:
42).
[*] Maksudnya: orang-orang yang mati itu
rohnya ditahan Allah sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya; dan
orang-orang yang tidak mati hanya tidur saja, rohnya dilepaskan sehingga dapat
kembali kepadanya lagi.
Menurut Utsman
Najati (2000), mimpi merupakan aktifitas mental yang beroperasi ketika
seseorang tidur. Dalam tidurnya itu dia melihat berbagai gambaran atau kejadian.
Namun sejauh yang
dapat dikaji oleh psikologi tentang mimpi, saya belum
mendapatkan bahasan yang lebih jelas
seperti yang pernah dibahas oleh Freud dalam “The Interpretastion
of Dream”,. Freud menjelaskan bahwa mimpi terkait erat dengan realitas. Bagi
Freud, mimpi merupakan suatu konsep mekanisme dari represi, di mana muatan
represi tersebut adalah sebuah trauma seksual. (Untuk muatan represi dalam
mimpi ini, Jung memiliki pendapat berbeda dengan gurunya tersebut).
Tentang hal ini saya tidak bisa sepakat dengan Freud.
Dia memandang penyebab dari represi adalah trauma seksual, namun berdasarkan
praktek yang saya jalani, sangat sering saya menghadapi kasus-kasus neurosis di
mana masalah seksualitas memainkan peran subordinat, dan faktor-faktor lain
yang justru mengedepan—misalnya, problem adaptasi sosial, tekanan dari keadaan
tragis kehidupan seseorang, pertimbangan gengsi, martabat dan sebagainya. (Jung, 1989)
Lalu, Freud juga menjelaskan bahwa mimpi adalah
keinginan-keinginan yang tidak tercapai dalam alam nyata kesadaran manusia.
Jadi keinginan itu terwujud dalam ketidaksadarannya ketika manusia berada dalam
tidurnya, yaitu berupa mimpi.
Jika mimpi adalah mekanisme represi manusia, maka
apakah itu berlaku juga bagi perjalanan individu yang mengalami mati suri??
Bahwa orang yang divonis mati suri dan telah mengalami perjalanan kematian
adalah orang-orang yang hanya memiliki tekanan-tekanan berat dalam hidup. Atau orang yang memiliki keinginan-keinginan besar yang tidak tercapai
dalam dunia nyata, sehingga ia membawanya menuju alam
ketidasadarannya, yang ini berarti sama dengan mekanisme mimpi. Atau dalam penjelasan Bu Rena
sebelumnya bahwa ia mengalami distorsi-distorsi.
Jika pun
demikian, maka pendekatan kognitif sebagai pendekatan yang dianggap dekat untuk
menjelaskan fenomena mati suri, hanya berujung pada penjelasan bahwa mati suri
terjadi hanya karena penyimpangan kognisi, atau proses kognisi ketika sadar
yang tidak mampu menerima realitas?? Pertanyaan besarnya adalah, apakah
orang yang mati suri kognisinya masih hidup?
Mimpi merupakan bentuk dari fungsi kognisi, atau sebagian menyebut bahwa manusia berpikir dalam tidur ketika bermimpi. Namun tampaknya itu tidak terjadi pada orang yang mati suri, orang yang mati suri ketika mengalami perjalanan kematian, kondisi kognisinya juga telah mati. Karena orang yang mati suri divonis mati secara fisiologis yang artinya tidak ada fungsi tubuh termasuk otak yang dapat bekerja lagi. Maka berdasarkan pemahaman tersebut, pada akhirnya kita sulit untuk menjelaskan bagaimana mungkin perjalanan mati suri dapat terjadi pada proses fisiologis yang telah mati?! Fisiologis manusia masih berfungsi ketika mimpi, namun tidak ketika mengalami mati suri.
Ataukah mungkin ada pendekatan lain selain kognitif
dan psikoanalis dalam psikologi untuk menjelaskan fenomena mati suri? Saya
belum mendapatkannya. Maka pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa psikologi
tidak (atau belum) bisa untuk menjelaskan fenomena mati suri yang sebagian
kecil terjadi di masyarakat kita. Sebagai kesimpulan, saya gunakan penjelasan
Jung dalam bukunya “Memories, Dreams, Reflrections” pada bab “Tentang
Hidup Setelah Mati”, sebagai berikut:
“Mungkin seseorang harus pernah terlebih dahulu dekat
dengan kematian untuk tahu pentingnya kemerdekaan membicarakan hal itu.
Bukannya saya berharap kita pernah hidup setelah mati. Sebenarnya saya pun
lebih senang untuk tidak mengembangkan pemikiran-pemikiran semacam ini. Meski
demikian, saya tetap harus mengatakan untuk memberikan hak sepantasnya bagi
realitas, bahwa tanpa perlakuan dan perlakuan saya tentang persoalan ini,
pikiran-pikiran itu tetap akan bergerak dalam diri saya”.
Jung
menambahkan di bagian lainnya,
“Dewasa ini kebanyakan manusia mengidentifikasi diri
mereka hampir semata-mata berdasar kesadaran mereka, dan membayangkan bahwa
mereka hanyalah apa yang mereka ketahui tentang diri mereka. Namun demikian,
siapa pun bahkan yang dangkal pengetahuannya tentang psikologi dapat melihat
betapa terbatasnya hal ini. Rasionalisme dan doktrinerisme adalah penyakit
zaman sekarang; keduanya berlagak memiliki semua jawaban. Akan tetapi lebih
banyak hal lagi yang akan ditemukan di mana pandangan kita yang terbatas akan
menganggapnya kemustahilan.” (C.G. Jung, 1989)
--------Wallahu
a’lam.
Beberapa
referensi, sebagai pertimbangan:
- Jung,. C. G. (2003). “Memories, Dreams, Reflections”, pentj. Apri Danarto dan Ekandari S. (Yogyakarta: Jendela),.
- Najati,. Muhammad Utsman. (2000). “Psikologi dalam Tinjauan Hadits Nabi”. (Jakarta: Mustaqiim).
0 comments:
Posting Komentar