26 Oktober 2008

Perjalanan seru dan baru!!

Liputan di Pulau Burung
Kamis, 9 oktober 2008
Ternyata, apa yang aku harapakan dari kesibukan menjadi reporter satu per satu mulai terwujud. “Aku berharap dapat menjelajahi negeri baru dan membuka jaringan jika aku menjadi wartawan/reporter...” tulisku dulu.


Pagi itu aku berencana mengadakan liputan untuk halaman inspirasi bersama Fauzi ke Pulau Dua/Pulau Burung di daerah Kasemen, Banten. Sebenarnya hari ini aku lebih suka menghadiri seminar Internasional di kampus IAIN Serang yang menghadirkan utusan dubes AS, tapi karena liputan adalah tugas, maka tak ada pilihan lain.

Berangkat jam 9 dari kantor Radar Banten mengendarai motor Fauzi menuju Pulau Dua, banyak orang menyebutnya juga sebagai “Pulau Burung”, karena itu adalah pulau yang menjadi tempat singgah burung-burung yang sedang migrasi dari berbagai daerah seperti Australia. Jarak tempuhnya sekitar 30 km, atau 45 menit perjalanan mengendarai motor dari Serang. Pulau Burung sendiri masih menjadi kosa kata baru bagi telingaku.

Rencana awal untuk mengisi halaman insipirasi bukan ke pulau burung, tapi narasumber lain yang saat ini masih mudik di Menes. Nah, karena narasumbernya tidak juga memberi jawaban untuk waktu wawancara, jadi Fauzi ngajak ke Pulau Burung ini. Menurut kabar, di Pulau Burung ini ada seorang polisi hutan (Jagawana) yang telah menjaga pulau burung selama kurang lebih 30 tahun. Bahkan sempat mendapat penghargaan KALPATARU karena dedikasinya tersebut. Wuihh! Pasti seru nih liputannya.
Menuju Pulau Burung, kami melalui jalan yang menuju ke arah objek wisata Banten Lama. Oh, aku rindu sekali ingin mengunjungi Banten Lama, karena terakhir aku mengunjunginya adalah saat TK dulu. Banten Lama adalah tempat bersejarah yang indah bagiku.

Sepanjang jalan menuju Pulau Burung, yang tampak di kiri-kanan adalah hamparan sawah dan empang-empang (kolam ikan-red). Pantas saja jika bau laut mulai tecium bau ikan. Bahkan ada beberapa perahu yang melabuh di antara aliran laut, walau laut belum tampak. Alhamdulillah... sepertinya ini akan menjadi perjalan yang seru.

Setelah bertanya pada beberapa orang, bahkan sempat salah jalan, akhirnya kita menemukan jalan menuju Pulau Burung. Adalah jalan setapak yang sebetulnya bukan disebut jalan, karena berada di antara empang-empang milik warga. tepat seperti berjalan di antara persawahan, tapi beruntung motor masih bisa dibawa masuk, walau risih jika tidak hati-hati akan terjatuh ke empang.

Hamparan pohon bakau dan kicauan burung menyambut kedatangan kami di Pulau Dua. Tiba-tiba tanpa ku duga, aku terkejut setelah memasuki tumbuhan bakau itu terhampar lautan luas di depan mata. Subhanallah, indah sekali!! Memandang lautan yang tenang dari jajaran pohon bakau.


Kami mendekati seorang pemuda yang tengah duduk di pos penjagaan, tak jauh dari tempat di mana kami berdiri..
“Saya mau ketemu Pak Mad Sahi untuk ngobrol-ngobrol,” tanya Fauzi.
“Oh, yang ngehubungi tadi malem??" tanya pemuda itu.
"Iya Mas",
"Itu Bapak..” jelas pemuda yang tak lain adalah anak dari Bapak yang akan kami wawancarai.

Awalnya Bapak berusia 52 tahun yang menjadi narasumber kami itu enggan untuk diwawancarai, menurutnya tidak ada yang layak darinya untuk diberitakan kepada orang lain, tapi dengan pendekatan ala wartawan, akhirnya komunukasi 2 arah pun terjadi, bahkan Bapak itu tampaknya senang diajak mengobrol yang sesekali kami catat, terlebih setelah kami berikan sebungkus rokok untuk menemani obrolan di antara kebun bakau saat itu. Tak lama setelah mendapatkan informasi awal, kami diajak Bapak asal Pandeglang itu untuk melihat di mana awalnya Pulau Burung terjadi.
***
Pulau Dua/Pulau Burung adalah cagar alam milik Banten yang ada sejak zaman Belanda, pada mulanya Pulau Burung memang sebuah pulau yang dulu untuk menempuhnya harus menggunakan perahu dari Karangantu, artinya pulau ini berada di tengah laut lepas. Tapi sekitar tahun 80-an, perlahan pasir di pantai bertumpuk di sekitar daratan dan pada daerah lain terjadi abrasi, maka pada akhirnya Pulau Burung menyatu dengan daratan. Dari semula hanya 8 hektar, setelah menyatu dengan daratan Pulau Burung meluas menjadi 30 hektar. Di Pulau ini terdapat banyak sekali flora dan fauna, flora yang banyak dan dikembangkan adalah tumbuhan bakau sebagai konservasi alam, dan faunanya jelas banyak sekali burung, jika tiba musim migrasi burung setelah bulan Januari, maka kawasan Pulau Burung akan ramai oleh burung-burung dari berbagai tempat yang akan singgah dan berkembangbiak di tempat ini. Indah sekali Pulau Dua ini...!


Sejarah Tak Terpecahkan
Aku dan Fauzi diajak menuju tempat di mana tepatnya bagian Pulau ini yang dulunya terpisah dari daratan. Selama berjalan-jalan memasuki jajaran hutan bakau, kami terus menggali sebanyak-banyaknya informasi dari Pak Mad Sahi. Karena setiap informasi itu lah yang kami jual kepada masyarakat. Tapi aku merasa pulau ini sangat sepi, benar-benar sepi. Hanya ada suara burung, suara ombak  dan suara Pak Mad Sahi yang terkadang terdengar parau karena cukup lama menjadi Tuan di Pulau ini.

Di antara kesunyian itu, ternyata memang menyimpan pemandangan lain yang bagiku cukup mengejutkan. Di antara jajaran pohon bakau, aku melihat beberapa makam yang tampaknya tidak terawat. Bahkan batu bata besar tertanam tak beraturan di tanah-tanah yang kami lalui. Barulah saat itu Pak Mad Sahi bercerita...

"Ini pemakaman peninggalan zaman perang Belanda, nih batu-batu yang kita injak, ini dulunya makam. Tapi Bapak engga pernah tau sejarah sebenernya, ada yang bilang ini tempat pemakaman pahlawan Indonesia yang tewas waktu perang, ada yang bilang tempat persembunyian... malah ada yang bilang juga tempat pembuangan korban perang..." jelasnya.

Seketika itu kami diajak turun ke area bibir pantai. Belum usai rasa penasaranku tentang sejarah pulau ini, Pak Mad Sahi menunjukkan kepada kami bukti sejarah ‘baru’. "Ini tulang paha orang, ini tulang tangan... Malah Bapak pernah liat tengkorak yang masih ada bola matanya..." jelas Pak Mad Sahi menunjukkan tulang belulang yang menempel di antara dinding pantai.

Tulang-tulang itu yang menurut Pak Mad Sahi adalah para korban semasa perang melawan Belanda, mungkin jika aku simpulkan, pulau ini menanam banyak sekali tubuh manusia yang sekarang hanya menyisakan tulang belulang. Tapi menjadi risih jika ternyata tulang belulang dan makam tak beraturan itu adalah menunjukkan bahwa pulau ini tempat pembuangan mayat (tanpa dikubur) dulunya. Untuk pertama kalinya aku melihat tulang belulang manusia, bahkan sebagai peninggalan sejarah.

Kami tiba di bibir pantai yang lain. "Ini tanah asli pulau Burung, yang waktu dulu masih terpisah dari darat", jelas Pak Mad Sahi memulai obrolan sambil duduk-duduk di bibir pantai yang sangat tenang ombaknya. Kami banyak menghabiskan waktu di pinggir pantai itu. Banyak informasi yang kami dapat pastinya, bahkan curahan hati Pak Mad Sahi yang bangga menjadikan Pulau seluas 30 hektar ini sebagai rumah kedua baginya.

Menjelang siang, kami kembali ke pos penjagaan. Di gubuk yang baru dibangun LSM itu kami melanjutkan obrolan kembali, setelah shalat duhur, Pak Mad sahi menyuguhi kami segelas kopi yang terbuat dari batok kelapa muda. Aku malu harus menemui Pak Mad Sahi dengan hanya membawa sebungkus roti dan 3 bungkus kopi.

Insya Allah jika aku berkunjung kembalil ke pulau ini, aku tak kan rasa malu ini.
Sekalipun siang telah benar-benar terik, tapi Pulau Burung ini tetap teduh diantara hutan bakau dan hangat di antara suara burung dan ombak yang tak pernah hilang..

Maka tiba saatnya kami pamit... Tapi ternyata disaat kami ingin pamit, Pak Madi Sahi justru mengira kami akan menunggu hingga sore hati untuk melihat menara pemantau yang terbuat dari bambu di sudut lain pulau ini, dan pastinya sore adalah waktu yang tepat untuk melihat burung-burung kembali ke pulau ini. Tapi sayang, kami tak bisa lama berada di pulau ini. Aku mengucapkan rasa terima kasih yang sangat kepada Pak Mad Sahi. Aku mendapatkan informasi, pengalaman, pelajaran dan pastinya aku mendapatkan hari yang berharga. Makasih Pak!



"Saat pengalaman mendewasakan kita, maka kita akan mampu mendewasakan pengalaman.."

1 comments:

Ahmad Ragen mengatakan...

Hm... Terasa banget serunya jadi wartawan.... B)

Diberdayakan oleh Blogger.