Ternyata, apa yang aku harapakan dari kesibukan
menjadi reporter satu per satu mulai terwujud. “Aku berharap dapat
menjelajahi negeri baru dan membuka jaringan jika aku menjadi
wartawan/reporter...” tulisku dulu.
Pagi itu aku berencana mengadakan liputan untuk halaman inspirasi bersama Fauzi ke Pulau Dua/Pulau Burung di daerah Kasemen, Banten. Sebenarnya hari ini aku lebih suka menghadiri seminar Internasional di kampus IAIN Serang yang menghadirkan utusan dubes AS, tapi karena liputan adalah tugas, maka tak ada pilihan lain.
Berangkat jam 9 dari kantor Radar Banten mengendarai
motor Fauzi menuju Pulau Dua, banyak orang menyebutnya juga sebagai “Pulau
Burung”, karena itu adalah pulau yang menjadi tempat singgah burung-burung yang
sedang migrasi dari berbagai daerah seperti Australia. Jarak tempuhnya sekitar
30 km, atau 45 menit perjalanan mengendarai motor dari Serang. Pulau Burung
sendiri masih menjadi kosa kata baru bagi telingaku.
Rencana awal untuk mengisi halaman insipirasi bukan ke
pulau burung, tapi narasumber lain yang saat ini masih mudik di Menes. Nah,
karena narasumbernya tidak juga memberi jawaban untuk waktu wawancara, jadi
Fauzi ngajak ke Pulau Burung ini. Menurut kabar, di Pulau Burung ini ada
seorang polisi hutan (Jagawana) yang telah menjaga pulau burung selama kurang
lebih 30 tahun. Bahkan sempat mendapat penghargaan KALPATARU karena dedikasinya
tersebut. Wuihh! Pasti seru nih liputannya.
Menuju Pulau Burung, kami melalui jalan yang menuju ke
arah objek wisata Banten Lama. Oh, aku
rindu sekali ingin mengunjungi Banten Lama, karena terakhir aku mengunjunginya
adalah saat TK dulu. Banten Lama adalah tempat bersejarah yang indah bagiku.
Sepanjang jalan menuju Pulau Burung, yang tampak di
kiri-kanan adalah hamparan sawah dan empang-empang (kolam ikan-red). Pantas saja
jika bau laut mulai tecium bau ikan. Bahkan ada beberapa perahu yang melabuh di
antara aliran laut, walau laut belum tampak. Alhamdulillah... sepertinya ini akan menjadi perjalan yang seru.
Setelah bertanya pada beberapa orang, bahkan sempat
salah jalan, akhirnya kita menemukan jalan menuju Pulau Burung. Adalah jalan
setapak yang sebetulnya bukan disebut jalan, karena berada di antara
empang-empang milik warga. tepat seperti berjalan di antara persawahan, tapi
beruntung motor masih bisa dibawa masuk, walau risih jika tidak hati-hati akan
terjatuh ke empang.
Hamparan pohon bakau dan kicauan burung menyambut kedatangan
kami di Pulau Dua. Tiba-tiba tanpa ku duga, aku terkejut setelah memasuki
tumbuhan bakau itu terhampar lautan luas di depan mata. Subhanallah,
indah sekali!! Memandang lautan yang tenang dari jajaran pohon bakau.
Kami mendekati seorang pemuda yang tengah duduk di pos
penjagaan, tak jauh dari tempat di mana kami berdiri..
“Saya mau ketemu Pak Mad Sahi untuk ngobrol-ngobrol,”
tanya Fauzi.
“Oh, yang ngehubungi tadi malem??" tanya pemuda
itu.
"Iya Mas",
"Itu Bapak..” jelas pemuda yang tak lain adalah
anak dari Bapak yang akan kami wawancarai.
Awalnya Bapak berusia 52 tahun yang menjadi narasumber
kami itu enggan untuk diwawancarai, menurutnya tidak ada yang layak darinya
untuk diberitakan kepada orang lain, tapi dengan pendekatan ala wartawan,
akhirnya komunukasi 2 arah pun terjadi, bahkan Bapak itu tampaknya senang
diajak mengobrol yang sesekali kami catat, terlebih setelah kami berikan
sebungkus rokok untuk menemani obrolan di antara kebun bakau saat itu. Tak lama
setelah mendapatkan informasi awal, kami diajak Bapak asal Pandeglang itu untuk
melihat di mana awalnya Pulau Burung terjadi.
***
Pulau Dua/Pulau Burung adalah cagar alam milik Banten
yang ada sejak zaman Belanda, pada mulanya Pulau Burung memang sebuah pulau
yang dulu untuk menempuhnya harus menggunakan perahu dari Karangantu, artinya
pulau ini berada di tengah laut lepas. Tapi sekitar tahun 80-an, perlahan pasir
di pantai bertumpuk di sekitar daratan dan pada daerah lain terjadi abrasi,
maka pada akhirnya Pulau Burung menyatu dengan daratan. Dari semula hanya 8
hektar, setelah menyatu dengan daratan Pulau Burung meluas menjadi 30 hektar.
Di Pulau ini terdapat banyak sekali flora dan fauna, flora yang banyak dan
dikembangkan adalah tumbuhan bakau sebagai konservasi alam, dan faunanya jelas
banyak sekali burung, jika tiba musim migrasi burung setelah bulan Januari,
maka kawasan Pulau Burung akan ramai oleh burung-burung dari berbagai tempat
yang akan singgah dan berkembangbiak di tempat ini. Indah sekali Pulau Dua
ini...!
Sejarah Tak Terpecahkan
Aku dan Fauzi diajak menuju tempat di mana tepatnya
bagian Pulau ini yang dulunya terpisah dari daratan. Selama berjalan-jalan
memasuki jajaran hutan bakau, kami terus menggali sebanyak-banyaknya informasi
dari Pak Mad Sahi. Karena setiap informasi itu lah yang kami jual kepada
masyarakat. Tapi aku merasa pulau ini sangat sepi, benar-benar sepi. Hanya ada
suara burung, suara ombak dan suara Pak
Mad Sahi yang terkadang terdengar parau karena cukup lama menjadi Tuan di Pulau
ini.
Di antara kesunyian itu, ternyata memang menyimpan
pemandangan lain yang bagiku cukup mengejutkan. Di antara jajaran pohon bakau,
aku melihat beberapa makam yang tampaknya tidak terawat. Bahkan batu bata besar
tertanam tak beraturan di tanah-tanah yang kami lalui. Barulah saat itu Pak Mad
Sahi bercerita...
"Ini
pemakaman peninggalan zaman perang Belanda, nih batu-batu yang kita injak, ini
dulunya makam. Tapi Bapak engga pernah tau sejarah sebenernya, ada yang bilang
ini tempat pemakaman pahlawan Indonesia yang tewas waktu perang, ada yang
bilang tempat persembunyian... malah ada yang bilang juga tempat pembuangan
korban perang..." jelasnya.
Seketika itu kami diajak turun ke area bibir pantai.
Belum usai rasa penasaranku tentang sejarah pulau ini, Pak Mad Sahi menunjukkan
kepada kami bukti sejarah ‘baru’. "Ini
tulang paha orang, ini tulang tangan... Malah Bapak pernah liat tengkorak yang
masih ada bola matanya..." jelas Pak Mad Sahi menunjukkan tulang
belulang yang menempel di antara dinding pantai.
Tulang-tulang itu yang menurut Pak Mad Sahi adalah
para korban semasa perang melawan Belanda, mungkin jika aku simpulkan, pulau
ini menanam banyak sekali tubuh manusia yang sekarang hanya menyisakan tulang
belulang. Tapi menjadi risih jika ternyata tulang belulang dan makam tak
beraturan itu adalah menunjukkan bahwa pulau ini tempat pembuangan mayat (tanpa
dikubur) dulunya. Untuk pertama kalinya aku melihat tulang belulang manusia,
bahkan sebagai peninggalan sejarah.
Kami tiba di bibir pantai yang lain. "Ini tanah asli pulau Burung, yang waktu dulu
masih terpisah dari darat", jelas Pak Mad Sahi memulai obrolan sambil
duduk-duduk di bibir pantai yang sangat tenang ombaknya. Kami banyak
menghabiskan waktu di pinggir pantai itu. Banyak informasi yang kami dapat
pastinya, bahkan curahan hati Pak Mad Sahi yang bangga menjadikan Pulau seluas
30 hektar ini sebagai rumah kedua baginya.
Menjelang siang, kami kembali ke pos penjagaan. Di
gubuk yang baru dibangun LSM itu kami melanjutkan obrolan kembali, setelah
shalat duhur, Pak Mad sahi menyuguhi kami segelas kopi yang terbuat dari batok
kelapa muda. Aku malu harus menemui Pak Mad Sahi dengan hanya membawa sebungkus
roti dan 3 bungkus kopi.
Insya Allah jika aku berkunjung kembalil ke pulau ini,
aku tak kan rasa malu ini.
Sekalipun siang telah benar-benar terik, tapi Pulau
Burung ini tetap teduh diantara hutan bakau dan hangat di antara suara burung
dan ombak yang tak pernah hilang..
"Saat pengalaman
mendewasakan kita, maka kita akan mampu mendewasakan pengalaman.."
1 comments:
Hm... Terasa banget serunya jadi wartawan.... B)
Posting Komentar