20 Mei 2007

ISYARAT GUGURAN DAUN-

Oleh: Ahmad Ragen

Karena daun yang lemah berguguran Karena ranting yang patah berjatuhan Dan karena celoteh gereja yang bersahutan Maka aku berguru pada alam

***

Memaknai daun-daun yang berserakan di tanah Rumah Dunia, sama halnya memaknai semua yang tampak menjadi bagian dari Rumah Dunia, topeng-topeng, bubu ikan, pintu gerbang, atau coretan-coretan di dinding, menjadi metafora yang hanya bisa dipahami bagi mereka yang mau berfilsafat.

Serakan daun di tanah, akan dipahami banyak orang sebagai sampah yang tampak mengotori lingkungan, tidak indah. Tapi konsep indah bisa lain jika hadir di Rumah Dunia, jutsru sampah (serakan daun) itu adalah bagian dari keindahan alam. Meminjam istilah Firman Venayaksa, "Alam adalah guru yang tidak menggurui," maka secara langsung ketika kita sedang berada di Rumah Dunia, kita sedang berguru pada alam, di samping berguru pada para penulis. Bukankah Islam mengisyaratkan dua hal untuk kita pelajari, pertama adalah ayat-ayat Kauliyah (Firman Allah dalam Al-Qur'an), dan ayat-ayat Kauniyah (Alam)?, maka mempelajari alam adalah bagian dari hal yang diisyaratkan oleh Islam.

Jika kita lihat, maka hanya daun dan ranting tua yang bisa menginjak tanah. Sama halnya dengan ide atau gagasan. Carl G Goller mengatakan, "Otak manusia mampu menciptakan 1000 lebih gagasan dalam setiap harinya." Maka dari seribu lebih gagasan yang bisa diciptakan manusia, hanya ada beberapa gagasan yang benar-benar sebagai wujud hasil pikir yang cerdas dan matang, yaitu gagasan atau ide yang "tua" dan yang "sampai menginjak tanah".

Setiap daun yang banyak berserakan di lingkungan sekitar, maka kebiasaan masyarakat adalah menyapu semua daun, kemudian menumpuknya dalam bak sampah dan terakhir membakarnya sampai habis. Jika setiap daun yang jatuh pada akhirnya akan dibakar hingga habis, lalu dari bakaran itu membentuk kepulan asap yang membumbung di langit, bukankah itu cara yang kurang bijak untuk menjaga bumi? Karena setiap daun yang dibakar akan menghasilkan Karbondioksida [CO2] yang jika semakin banyak tercipta, maka efeknya akan melubangi lapisan ozon, dan setiap lapisan ozon yang bolong, akan masuk sinar matahari ke bumi secara langsung dan terjadi yang disebut sebagai "efek rumah kaca".

Selain efek rumah kaca yang akan ditimbulkan dari bakaran sampah, bagi masyarakat sekitar (tetangga) tentu tidak akan nyaman dengan kepulan asap yang memasuki rumah-rumah mereka, terbang mengenai jemuran-jemuran di depan rumah, dan baunya yang pasti jauh berbeda dengan bau kepulan asap sate ayam.

Meminjam istilah Gola Gong, "Saatnya menggunakan otak kanan," adalah sangat tepat, karena agar tidak melulu otak kiri yang dipergunakan. Dalam hal ini berarti kita harus mampu mengubah cara berpikir dalam menilai keindahan, maka sekiranya indah adalah tanpa serakan daun yang dianggap mengotori, indah juga berarti mengubah serakan daun itu menjadi hasil dari proses kretifitas. Contohnya, melihat serakan daun di Rumah Dunia yang merupakan tempat belajar banyak orang, maka belajar akan menyenangkan jika menyatu dengan alam, dan itu menjadi konsep belajar dalam “Learning Revolution”. Atau menyulap daun-daun yang jatuh ke tanah menjadi bentuk kreatifitas lain yang kemudian tidak hanya sebatas kreatifitas, tetapi lebih jauh bisa menghasilkan pendapatan dari proses kreatif tersebut.

Seandainya kota Serang bisa secara optimal menggunakan "otak kanannya", tentu Serang sebagai Ibukota bisa berguru pada alam, menjaga dan melestarikan bumi secara bijak, membangun lahan pekerjaan dengan mentransformasikan makna keindahan dari serakan daun dan melakukan hal lain yang dengannya bisa menjadi nilai lebih bagi Serang sebagai provinsi yang angka buta huruf dan gagap teknologinya di masyarakat masih banyak.

Banyak orang kagum ketika melihat kondisi belajar Rumah Dunia yang tampak menyatu dengan alam, mendengar kicauan burung yang bersahutan, suara-suara kambing, angin-angin yang menerbangkan dedaunan, teriakan anak-anak kecil yang ramai berlarian, dan kumandang adzan yang terdengar untuk mengingatkan waktu shalat, serta melihat biru langit yang tentu tidak bisa hadir di dalam kondisi belajar ruang tertutup.

Jika pohon di Rumah Dunia telah habis, dan tidak ada lagi daun dan ranting yang jatuh berguguran, maka biarkan dedaunan pohon di hutan berjatuhan menginjak Rumah Dunia karena angin yang menerbangkannya. Dan jika pohon-pohon di hutan telah habis pula, biarkan kami berguru pada angin, karena sampai mati kami akan setia berguru pada alam. Jika alam telah habis, maka kita habis.

0 comments:

Diberdayakan oleh Blogger.