19 Agustus 2012

Malam 1 Syawal; Dermaga dan Ironi Lautan



23.27 p.m.

Malam takbir, aku memilih untuk berada di sisi laut yang tenang, mencari ruang dimana jika aku berdiri aku dapat melihat ketakberbatasan alam. Maka pada garis ketakberbatasan itu aku berharap dapat melihat diriku. Ya, laut.. Namun diantara ombak yang tak terdengar bergelombang, di sekitarkku justru terdengar pikuk oleh puluhan kembang api dan petasan. Wushh... Darr..!!!  Darr..!!!  Satu persatu api itu melambung cepat ke langit gelap dan membentuk pecahan kembang berwarna biru merah dan kuning, memecah diri, bermanuver lalu habis. Seolah api-api kecil itu saling berkejaran berterbangan setinggi mungkin lalu meledakkan diri membentuk formasi bunga api. Wushh... Darr..!!!  Darr..!!! Terus menerus berderu di atas langit, semacam tengah dipertontonkan kepadaku sebuah  perayaan agung para kaum urban yang jengah dengan kepenatan.

Maka jika aku lempar pandangku ke sekeliling, sesungguhnya malam ini sangat pikuk oleh puluhan bahkan mungkin ratusan orang yang tengah merayakan malam 1 syawal, ya malam lebaran! Aku sadar bahwa aku menjadi salah satu dari mereka, duduk di salah satu sisi dermaga pantai di Utara Jakarta, Pantai Ancol. Bagiku, sesungguhnya ini hanya semacam cara yang aku tempuh untuk menghilangkan penat, lalu menjamu malam yang rasanya kali ini sangat berarti bagiku.

Tapi rasanya ada pemaknaan yang salah dan tidak tepat yang tampak di hadapanku saat ini. Di sekelilingku saat ini beberapa muda-mudi merayakan malam takbir dengan berdua-duan, diantara mereka saling berpegang tangan dan berada sangat berdekatan, pun demikian di kanan dan kiriku. Rasanya mereka masih muda dan tentu belum menikah, entahlah. Tapi jika aku tak salah mendengar, diantara pekik petasan dan kembang api, juga diantara kemesraan muda-mudi itu, suara takbir masih terdengar jauh lebih keras berkumandang. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar..!!. Takbir yang jika kau lantunkan di luar bulan Ramadan, akan membuat bulu tanganmu bergidik merinding karena rindu ingin segera bertemu Ramadan.

Lalu mengapa suara takbir malam ini justru seolah hanya menjadi soundtrack bagi ironi manusia yang lupa bahwa kita baru saja melaksanakan puasa untuk terakhir kali. Atau, apakah aku merasa memang mungkin Ramadan tak memiliki banyak makna bagi banyak orang, sehingga harus merayakan akhir ramadan dengan cara seolah tak ada ramadan.. O, dermaga yang menyimpan ironi..!! Pun setidaknya, aku masih berharap ramadan bagiku masih menyimpan sedikit makna diantara yang tak bisa ku temukan.

Di dermaga ini, aku berada bersama dua rekanku yang juga jurnalis. Seharian ini kami memang masih bertugas meliput soal kondisi akhir Ramadan dan persiapan lebaran besok. Dan ya, untuk kali pertama aku harus merasakan lebaran jauh dari rumah.. Memang ada banyak suara kembang api, pun banyak sudah nyaring lantunan takbir aku dengar, tapi aku tak dapati malam ini seperti malam ramadan selama 23 tahun yang pernah aku lalui. Saat banyak orang ingin berlebaran bersama keluarga di rumah, aku justru berada sekitar 100 KM dari jauhnya dari rumah..

Mungkin terdengar tak santun, tapi bilakah aku diizinkan untuk merasakan ramadan dalam suasana yang berbeda.. Ya sampai empat hari ke depan aku masih harus berada di Jakarta untuk tugas liputan. Tapi percayalah jika tak diizinkan tentu tak mungkin aku berani mengambil tugas ini. Aku hanya berharap bahwa ada pemaknaan yang sama dimanapun kita merayakannya, makna bahwa malam takbiran adalah malam saat kau harus menemukan dirimu usai ‘meditasi diri’ selama satu bulan..

Malam pun makin larut... Beberapa orang masih hilir mudik di hadapanku, bergurau dan saling berkelakar. Sementara kopi di hadapanku sudah hampir habis. Dan tenyata selarut ini tak juga aku dengarkan suara ombak, pun tak ku temukan garis batas laut setajam apapun aku lempar mataku ke lautan. Maka pada ketakberbatasan yang hilang, aku luput menemukan diriku. Ya, karena malam ini sesungguhnya teramat gelap, dan pekat. Segelap yang aku pikirkan, sepekat yang aku rasakan. Sampai ku temukan esok hari langit malam ini tenggelam berganti hari yang paling ku nantikan, 1 Syawal 1433 Hijriyah. Selamat berlebaran..

-Dermaga Ancol, 18 Agustus 2012.

0 comments:

Diberdayakan oleh Blogger.