Catatan Perjalanan Kalimantan
13.30 pm
Selama pelayaran, kami banyak berbincang
dengan Kapten Kapal, JP Makahinda. Ia menceritakan kisahnya dalam pelayaran
selama 32 tahun. Diantara banyak pengalaman yang ia miliki, tak ada yang
membuatnya sangat berkesan selain saat ia menghadapi ombak setinggi lebih dari
5 meter.
Kapten JP Makahinda saat itu masih
sebagai ABK. Ia menghadapi kondisi saat kapal tak bisa dikendalikan karena
gelombang yang tinggi, angin kencang, dan langit yang gelap. Kapal
terombang-ambing dan benar-benar tak bisa dikendalikan oleh nahkoda. Seolah mereka
berlayar dalam keadaan sangat mencekam!
Dalam keadaan panik dan putus asa, sang
Nahkoda saat itu mengumpulkan seluruh awak kapal di dalam anjungan (ruang
nahkoda). Saat semua ABK telah berkumpul, dalam keadaan duduk melingkar dan saling
berpegangan, dengan bijaknya sang nahkoda berpesan, “Kapal ini sudah tak bisa
dikendalikan, gelombang terlalu tinggi. Tak ada yang bisa kita lakukan selain berdoa,”
kata kapten JP Makahinda menuturkan pesan sang kaptennya kala itu.
Kata-kata sang kapten itu diikuti tangis
ABK yang merasa sangat ketakutan, karena kapal yang tak bisa dikendalikan dalam
sekejap kapal bisa mudah terbalik. Sementara apa yang mereka lihat, hanya lautan
dan ombak tinggi yang liar mengguncang kapal.
Namun tak lama kemudian, rupanya Tuhan
mendengar doa mereka, dalam keadaan putus asa, sang Kapten melihat sebuah
daratan dari kejauhan melalui teropong. “Hai lihat! Sepertinya ada daratan.. Coba
kau cek itu,” kata sang kapten kepada salah seorang ABKnya. Dengan cekatan, ABK
itu memastikan yang dilihatnya benar adalah daratan. Maka dengan usaha keras,
sang kapten kembali mencoba memutar kemudi, menggerakkan kapal besar itu menghindari ombak
tinggi. Dan usaha itu berhasil, badai bisa dilalui dan mereka sampai di daratan.
“Nahkoda harus membuat suasana kapal
enak dan nyaman. Kita tak tahu apa yang dipikirkan oleh penumpang, kemana dan
apa tujuan mereka, semuanya di tangan kita. Jika kita panik, maka habislah
kapal ini,” kata Kapten JP Makahinda melanjutkan obrolan.
“Bagi kami pelaut, siang dan malam tak
ada bedanya, kami hanya melihat lautan. Kita baru ketemu anak istri mungkin setelah
dua bulan, kalau tak dibuat enak saat membawa kapal, sayang sekali. Jadi usahakan
setiap membawa kapal dibuat enak, sampai kita pulang nanti bisa bertemu anak
istri dengan senang,” lanjutnya dengan logat khas orang Timur.
Aku sangat antusias mendengar pengalaman-pengalaman
sang kapten. Begitu juga dengan kawanku yang sesekali merecord penuturan kapten
itu. Saat itu aku sempat menanyakan di mana
posisi kita saat ini.
Kapten yang ramah itu menunjukkanku sebuah
peta ukuran 100 x 70 cm. Ia mengajariku bagaimana menentukan posisi kapal di
tengah lautan. “Kapal ini disertai GPS, kita lihat ada di koordinat mana posisi
GPS kita, setelah itu cocokkan dengan peta,” terangnya singkat.
Dari data GPS kami mendapati dua titik koordinat
lintang utara dan timur. Lalu sang kapten membuat garis lurus dari titik
pelabuhan Semarang ke titik pelabuhan Kumai, di Kalimantan. Dua titik koordinat
itu dicocokan dalam garis yang dibuat sang kapten dalam peta, maka didapatlah
posisi kapal saat itu, ”Kita sudah setengah perjalanan di Laut Jawa. Melihat kondisi
ombak yang tenang, dengan kecepatan 11.5 knot kita bisa sampai di Kalimantan
lebih cepat. Mungkin jam 10 malam sudah sampai,” kata sang Kapten.
Kesimpulan itu membuatku lebih tenang
karena bisa lebih cepat sampai darat. Artinya tinggal 10 jam lagi kita
berlayar. Ya, masih jauh memang, tapi aku berusaha menikmati perjalanan ini.
Selain berbincang dengan sang kapten
kapal, aku juga akrab berbincang dengan perwira 1 kapal bernama Meiardi
Ticoalu. Perwira kapal secara struktur berada langsung di bawah kapten, ada 4
perwira dalam satu kapal. “Chief, masih puasa?” tanyaku pada
periwara kapal berperawakan tinggi itu. Chief adalah panggilan untuk perwira
kapal.
“Alhamdulillah saya dan sebagian besar
perwira juga ABK masih puasa walau di atas kapal,” jawab perwira 1 asal Manado
itu.
Ia juga menuturkan bahwa tak ada
halangan baginya berpuasa, bahkan ia mengaku tetap tarawih meski berada di
lautan. Itu membuatku kagum dan salut pada kesungguhan mereka beribadah.
Obrolan dengan perwira aku buat dalam dua berita, puasa & tarawih.
17.00 pm
Jelang sore, sebetulnya aku ingin
menunggu matahari terbenam dari dek kapal. Tapi rasanya masih ada satu keinginanku,
yaitu mewawancarai masinis kapal. Masinis adalah isitilah bagi ABK yang
mengendalikan dan mengontrol mesin kapal di bagian bawah.
Menuju dek paling bawah kapal, aku
dapati bising ruangan oleh suara mesin yang menderu. Di ruang kontrol mesin,
aku berkenalan dengan masinis bernama Adi. Ia tak kalah ramah dengan kapten dan
perwira kapal. Aku bertanya dari mulai tugas di bagian mesin, hingga menggali
pengalaman-pengalamannya sang masinis yang sudah 11 tahun berlayar itu. Ada yang
membuatku kembali kagum, selain bisa menjaga puasa, sang masinis juga
tetap menjaga salatnya meski harus di-qasar dan jamak. Subhanallah.. Mulia
sekali para ABK di kapal ini.
Hampir satu jam aku berbincang
dengannnya. Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 17.45, aku ijin pamit
untuk bersiap berbuka puasa.
Menunggu sedikit waktu sebelum berbuka
puasa, aku habiskan untuk berdiri di dek kapal untuk menyaksikan sisa panorama matahari
yang tenggelam di ujung lautan, sunset! Indah sekali matahari yang terbenam kala itu. Tak
jauh berbeda saat aku menyaksikannya bangkit pagi tadi. Melihat matahari yang
tenggelam itu, seketika meingatkanku pada pesan ayahku di rumah. Usai kami salat berjamaah
ia berpesan: “Umur manusia itu seperti
matahari, waktu baru bangkit cahaya matahari masih segar dan indah. Waktu di
tengah-tengah, matahari jadi terik. Tapi mulai sore, mulai pudar cahayanya dan
tenggelam. Seperti itu usia manusia,” ungkapnya.
18.00 pm.
Tiba saat kami berbuka puasa. Kami
berbuka di ruang makan bersama sang kapten dan perwira kapal dengan menu
seadanya. Sungguh sangat indah suasana berbuka di atas lautan bersama sahabat
dan orang tua baru bagi kami saat itu.
Waktu yang beranjak malam, membawa kami makin
dekat dengan pelabuhan Kumai, Kalimantan. Aku deg-degan, ini akan menjadi kali
pertama aku menginjak Pulau Kalimantan. Maka sekitar pukul 9 malam, aku mulai
melihat satu dua kapal berpapasan dengan kapal kami.
Di samping dek kapal, aku mulai melihat titik
cahaya yang makin lama makin jelas bahwa yang aku lihat adalah daratan. 22 jam
sudah kami berada di atas kapal yang hanya melihat air dan buih ombak, akan
tiba bagi kami saatnya kembali ke daratan. Tapi ini akan menjadi waktu yang
berat bagi kami karena harus berpisah dengan sang kapten dan para ABK yang baru
saja aku kenal.
20.45 am. Kami tiba di pelabuhan Kumai,
Kalimantan. Maka saat-saat yang berat harus kami rasakan berpisah dengan kapten
dan para ABK. Dengan berat hati aku dan kawan-kawan berpamitan dengan kru
kapal. Aku merasa sangat berterimakasih bisa mendengar pengalaman-pengalaman
dari orang-orang yang luar biasa yang pernah aku kenal. Kelak satu saat, ingin
aku bisa kembali menemui mereka.
Turun dari kapal, aku sempatkan
menghubungi ibu di rumah bahwa aku sudah sampai di Kalimantan dengan selamat.
Saat itu juga aku dapati Hpku mulai berdering kembali, beberapa pesan aku
terima setelah selama 22 jam kami tak mendapati sinyal. Salah satu pesan itu
dari ibu, “usahakan jangan batal puasanya”. Maka saat aku menghubunginya,
dengan bangga aku katakan bahwa aku tak membatalkan puasa selama perjalanan
laut dari Semarang ke Kalimantan.
-Foto bersama kapten dan perwira kapal-
0 comments:
Posting Komentar