16 September 2012

Menginjak Lautan #3


Catatan Perjalanan Kalimantan

13.30 pm
Selama pelayaran, kami banyak berbincang dengan Kapten Kapal, JP Makahinda. Ia menceritakan kisahnya dalam pelayaran selama 32 tahun. Diantara banyak pengalaman yang ia miliki, tak ada yang membuatnya sangat berkesan selain saat ia menghadapi ombak setinggi lebih dari 5 meter.

Kapten JP Makahinda saat itu masih sebagai ABK. Ia menghadapi kondisi saat kapal tak bisa dikendalikan karena gelombang yang tinggi, angin kencang, dan langit yang gelap. Kapal terombang-ambing dan benar-benar tak bisa dikendalikan oleh nahkoda. Seolah mereka berlayar dalam keadaan sangat mencekam!


Dalam keadaan panik dan putus asa, sang Nahkoda saat itu mengumpulkan seluruh awak kapal di dalam anjungan (ruang nahkoda). Saat semua ABK telah berkumpul, dalam keadaan duduk melingkar dan saling berpegangan, dengan bijaknya sang nahkoda berpesan, “Kapal ini sudah tak bisa dikendalikan, gelombang terlalu tinggi. Tak ada yang bisa kita lakukan selain berdoa,” kata kapten JP Makahinda menuturkan pesan sang kaptennya kala itu.

Kata-kata sang kapten itu diikuti tangis ABK yang merasa sangat ketakutan, karena kapal yang tak bisa dikendalikan dalam sekejap kapal bisa mudah terbalik. Sementara apa yang mereka lihat, hanya lautan dan ombak tinggi yang liar mengguncang kapal.

Namun tak lama kemudian, rupanya Tuhan mendengar doa mereka, dalam keadaan putus asa, sang Kapten melihat sebuah daratan dari kejauhan melalui teropong. “Hai lihat! Sepertinya ada daratan.. Coba kau cek itu,” kata sang kapten kepada salah seorang ABKnya. Dengan cekatan, ABK itu memastikan yang dilihatnya benar adalah daratan. Maka dengan usaha keras, sang kapten kembali mencoba memutar kemudi, menggerakkan kapal besar itu menghindari ombak tinggi. Dan usaha itu berhasil, badai bisa dilalui dan mereka sampai di daratan.

“Nahkoda harus membuat suasana kapal enak dan nyaman. Kita tak tahu apa yang dipikirkan oleh penumpang, kemana dan apa tujuan mereka, semuanya di tangan kita. Jika kita panik, maka habislah kapal ini,” kata Kapten JP Makahinda melanjutkan obrolan.

“Bagi kami pelaut, siang dan malam tak ada bedanya, kami hanya melihat lautan. Kita baru ketemu anak istri mungkin setelah dua bulan, kalau tak dibuat enak saat membawa kapal, sayang sekali. Jadi usahakan setiap membawa kapal dibuat enak, sampai kita pulang nanti bisa bertemu anak istri dengan senang,” lanjutnya dengan logat khas orang Timur.

Aku sangat antusias mendengar pengalaman-pengalaman sang kapten. Begitu juga dengan kawanku yang sesekali merecord penuturan kapten itu. Saat itu aku sempat  menanyakan di mana posisi kita saat ini.

Kapten yang ramah itu menunjukkanku sebuah peta ukuran 100 x 70 cm. Ia mengajariku bagaimana menentukan posisi kapal di tengah lautan. “Kapal ini disertai GPS, kita lihat ada di koordinat mana posisi GPS kita, setelah itu cocokkan dengan peta,” terangnya singkat.


Dari data GPS kami mendapati dua titik koordinat lintang utara dan timur. Lalu sang kapten membuat garis lurus dari titik pelabuhan Semarang ke titik pelabuhan Kumai, di Kalimantan. Dua titik koordinat itu dicocokan dalam garis yang dibuat sang kapten dalam peta, maka didapatlah posisi kapal saat itu, ”Kita sudah setengah perjalanan di Laut Jawa. Melihat kondisi ombak yang tenang, dengan kecepatan 11.5 knot kita bisa sampai di Kalimantan lebih cepat. Mungkin jam 10 malam sudah sampai,” kata sang Kapten.

Kesimpulan itu membuatku lebih tenang karena bisa lebih cepat sampai darat. Artinya tinggal 10 jam lagi kita berlayar. Ya, masih jauh memang, tapi aku berusaha menikmati perjalanan ini.

Selain berbincang dengan sang kapten kapal, aku juga akrab berbincang dengan perwira 1 kapal bernama Meiardi Ticoalu. Perwira kapal secara struktur berada langsung di bawah kapten, ada 4 perwira dalam satu kapal. “Chief, masih puasa?” tanyaku pada periwara kapal berperawakan tinggi itu. Chief adalah panggilan untuk perwira kapal.

“Alhamdulillah saya dan sebagian besar perwira juga ABK masih puasa walau di atas kapal,” jawab perwira 1 asal Manado itu.

Ia juga menuturkan bahwa tak ada halangan baginya berpuasa, bahkan ia mengaku tetap tarawih meski berada di lautan. Itu membuatku kagum dan salut pada kesungguhan mereka beribadah. Obrolan dengan perwira aku buat dalam dua berita, puasa & tarawih.

17.00 pm
Jelang sore, sebetulnya aku ingin menunggu matahari terbenam dari dek kapal. Tapi rasanya masih ada satu keinginanku, yaitu mewawancarai masinis kapal. Masinis adalah isitilah bagi ABK yang mengendalikan dan mengontrol mesin kapal di bagian bawah.

Menuju dek paling bawah kapal, aku dapati bising ruangan oleh suara mesin yang menderu. Di ruang kontrol mesin, aku berkenalan dengan masinis bernama Adi. Ia tak kalah ramah dengan kapten dan perwira kapal. Aku bertanya dari mulai tugas di bagian mesin, hingga menggali pengalaman-pengalamannya sang masinis yang sudah 11 tahun berlayar itu. Ada yang membuatku kembali kagum, selain bisa menjaga puasa, sang masinis juga tetap menjaga salatnya meski harus di-qasar dan jamak. Subhanallah.. Mulia sekali para ABK di kapal ini.

Hampir satu jam aku berbincang dengannnya. Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 17.45, aku ijin pamit untuk bersiap berbuka puasa.

Menunggu sedikit waktu sebelum berbuka puasa, aku habiskan untuk berdiri di dek kapal untuk menyaksikan sisa panorama matahari yang tenggelam di ujung lautan, sunset! Indah sekali matahari yang terbenam kala itu. Tak jauh berbeda saat aku menyaksikannya bangkit pagi tadi. Melihat matahari yang tenggelam itu, seketika meingatkanku pada pesan ayahku di rumah. Usai kami salat berjamaah ia berpesan: “Umur manusia itu seperti matahari, waktu baru bangkit cahaya matahari masih segar dan indah. Waktu di tengah-tengah, matahari jadi terik. Tapi mulai sore, mulai pudar cahayanya dan tenggelam. Seperti itu usia manusia,” ungkapnya.

18.00 pm.
Tiba saat kami berbuka puasa. Kami berbuka di ruang makan bersama sang kapten dan perwira kapal dengan menu seadanya. Sungguh sangat indah suasana berbuka di atas lautan bersama sahabat dan orang tua baru bagi kami saat itu.

Waktu yang beranjak malam, membawa kami makin dekat dengan pelabuhan Kumai, Kalimantan. Aku deg-degan, ini akan menjadi kali pertama aku menginjak Pulau Kalimantan. Maka sekitar pukul 9 malam, aku mulai melihat satu dua kapal berpapasan dengan kapal kami.

Di samping dek kapal, aku mulai melihat titik cahaya yang makin lama makin jelas bahwa yang aku lihat adalah daratan. 22 jam sudah kami berada di atas kapal yang hanya melihat air dan buih ombak, akan tiba bagi kami saatnya kembali ke daratan. Tapi ini akan menjadi waktu yang berat bagi kami karena harus berpisah dengan sang kapten dan para ABK yang baru saja aku kenal.

20.45 am. Kami tiba di pelabuhan Kumai, Kalimantan. Maka saat-saat yang berat harus kami rasakan berpisah dengan kapten dan para ABK. Dengan berat hati aku dan kawan-kawan berpamitan dengan kru kapal. Aku merasa sangat berterimakasih bisa mendengar pengalaman-pengalaman dari orang-orang yang luar biasa yang pernah aku kenal. Kelak satu saat, ingin aku bisa kembali menemui mereka.

Turun dari kapal, aku sempatkan menghubungi ibu di rumah bahwa aku sudah sampai di Kalimantan dengan selamat. Saat itu juga aku dapati Hpku mulai berdering kembali, beberapa pesan aku terima setelah selama 22 jam kami tak mendapati sinyal. Salah satu pesan itu dari ibu, “usahakan jangan batal puasanya”. Maka saat aku menghubunginya, dengan bangga aku katakan bahwa aku tak membatalkan puasa selama perjalanan laut dari Semarang ke Kalimantan.


-Foto bersama kapten dan perwira kapal-

0 comments:

Diberdayakan oleh Blogger.