Jumat, 15 Maret 2013
Tahun 2009, Anas pernah menulis buku tentang
SBY berjudul, “Bukan Sekedar Presiden”. Buku itu menggambarkan bagaimana Anas sangat
mengagungkan SBY, kala itu Anas belum jadi ketua umum Partai Demokrat. Lalu aku
membayangkan andai tahun ini Anas kembali menulis buku tentang SBY,
kira-kira apa ya judulnya?
Konflik di internal Partai Demokrat
sudah sedemikian sengkarut. Setidaknya dimulai dari beberapa kader yang menjadi
tersangka, dan puncaknya saat ‘para sengkuni’ menyusun skenario pelengseran
Anas dari kursi ketua umum. Skenario itu pun berhasil, Anas benar-benar lengser
namun luar biasa meradang Anas dan para loyalis yang selama ini mendukungnya.
Badai pun menjadi makin kuat membentuk
arus di internal Partai Demokrat. Sampai titik ini aku menilai “Partai Demokrat
bertanggungjawab besar atas sikap antipati dan ketidakpercayaan masyarakat pada
partai dan negara!”
Sebetulnya badai yang menimpa Partai Demokrat tidak perlu sekencang yang terjadi saat ini, andaikata tak ada ‘skenario pelengseran Anas’. Tapi inilah politik, politisi selalu punya hitungan politik sendiri. Sayangnya, mereka lupa bahwa bola terlihat bundar itu dari luar, bukan dari dalam.
Lihat bagaimana Anas menyatakan
BERHENTI dari Partai Demokrat pada 23
Februari lalu: “Standar
etik pribadi saya kalau saya punya status hukum sebagai tersangka, maka saya
akan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat,” kata Anas.
Kata berhenti ini yang menjadi
sengkarut kedua Partai Demokrat. Cerdasnya Anas menggunakan kata berhenti (Anas
yang mantan komisioner KPU dan matang di organisasi tahu betul bagaimana
mengganjal partai dengan pilihan kata berhenti). Apa penjelasan Anas soal
berhenti ini?
Dalam wawancara di salah satu radio,
Anas menganalogikan: “Berhenti itu seperti ini.. (menunjukkan telapak tangan
berdiri di depan), kalau mundur itu ini.. (telapak tangan dimundurkan). Saya
berhenti bukan mundur.. (mengembalikan posisi telapak tangan berdiri di depan),” kata Anas cerdas mengisyaratkan ia masih dalam
posisinya sebagai ketua umum tapi 'dimatikan'.
Setidaknya kata berhenti itu digunakan
Anas untuk mengganjal Kongres Luar Biasa (KLB) yang menjadi momen pergantian dirinya.
AD/ART Partai Demokrat menyatakan hanya ada 4 hal untuk menggantikan Anas, (pasal
4): 1. Meninggal dunia, 2. Mengundurkan diri secara tertulis, 3. Menjadi
anggota partai politik lain, 4. Melanggar AD ART. Yang mana Anas? Tidak diatur
dalam AD ART.
Jika kata berhenti itu tak cukup untuk
mengganjal KLB Partai Demokrat. Maka lihat bagaimana Anas membuat arus balik
dan melawan ‘skenario pelengseran’ dengan skenario yang disebutnya sebagai ‘halaman
pertama’:
“Ada yang berpikir bahwa
ini adalah akhir dari segalanya. Hari ini saya nyatakan ini baru permulaan. Ini
baru sebuah awal langkah-langkah besar. Ini baru halaman pertama, masih banyak
hal lainnya yang kita buka bersama untuk kebaikan bersama,” ucap Anas.
Halaman berikutnya inilah yang
dinantikan media dan internal Partai Demokrat. Dugaanku Anas akan menjadi
Nazaruddin jilid 2, Anas masih punya kartu Joker. Maka halaman berikutnya yang
dimaksud adalah terkait kasus hukum yang belum pernah disebut KPK.
Tapi pertanyaannya, apakah Anas
benar-benar bersalah dan korup dalam sengkarut ini?
Hal ini tak perlu ditanyakan, jangan
terkecoh dengan politik ‘tertindas’ Anas. Setelah ditetapkan sebagai tersangka
berboyong-boyong tokoh-tokoh nasional mengunjungi rumah Anas dan memberi
simpati seolah-olah Anas orang yang tertindas. Ah, bullshit! Koruptor tetap koruptor.
Informasi terbaru, rupanya Partai
Demokrat benar-benar akan menggelar KLB, (setelah ‘lobi’ ke KPU soal penetapan
Daftar Caleg Sementara (DCS) tak bisa ditandatangani Plt ketua umum). KLB akan
digelar tanggal 30-31 Maret di Bali. Lalu, saat masalah internal sudah sedemikian
sengkarut dan berbelit, otoritas SBY di Demokrat pun tak bisa diandalkan, apa
yang akan terjadi? Let’s see..
0 comments:
Posting Komentar