Dari Pilgub DKI ke Gedung Parlemen
-Jokowi saat masa kampanye-
Pilgub
DKI (Maret-Oktober)
Hari pertama liputan (6 Maret), aku diminta
untuk menuju Kantor KPU DKI mengambil agenda Pilgub. Meski masih hari pertama
sebagai wartawan, kantor sudah berpesan ‘mulai hari ini kamu ikutin Pilgub
DKI’. Maka meski aku masih floating
dan acak mengambil agenda-agenda lain, rupanya agenda Pilgub DKI menjadi
prioritas.
Maka mulailah aku membangun jaringan,
menjaga komunikasi dengan seluruh cagub dan cawagub, KPU, tim sukes, serta semua
yang terlibat dalam Pilgub DKI. Hingga tanpa aku sadari karena sering mengambil
agenda Pilgub, rupanya kantor mengandalkanku untuk semua informasi terkait
Pilgub DKI untuk beberapa bulan selanjutnya.
Kala itu calon gubernur dan wakil gubernur ada
6 pasangan, (Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat Nur Wahid-Didik, Alex-Nono,
Faisal-Biem dan Hendardji-Riza). Dari semua calon, hanya Fauzi Bowo dan Alex Noerdin, yang tak bisa dikontak
langsung, jadi akses informasi hanya melalui cawagub atau timsesnya.
Saat-saat menyenangkan tentu saja saat masa
kampanye. Kala itu aku mendapat jatah untuk menjaga agenda Jokowi dan Ahok. Kemana
Jokowi kampanye, aku selalu ikut. Itulah mengapa aku merasa senang bisa sempat mengenal
dekat dengan orang yang kemudian kita tahu tampil sebagai pemenang Pilgub DKI. Bahkan
di luar aktivitas kampanye, aku bisa menelepon langsung Jokowi yang kala itu
masih sebagai walikota Solo. Menyenangkan bisa berkelakar dengan ‘tukang kayu’
yang bersahaja. :)
Banyak cerita selama aku menemani Jokowi. Tapi
tak mungkin aku ceritakan semuanya, singkatnya bagiku Jokowi adalah harapan,
baru kali ini aku melihat ada tokoh yang benar-benar diharapkan masyarakat.
Kemanapun Jokowi kampanye, ibu-ibu, anak-anak dan bapak-bapak selalu menyemut
dan berebut sekedar ingin melihat dan bersalaman. “Jokowi!! Jokowi..!!” teriak mereka. Bahkan, satu kali di Jakarta
Utara, masyarakat patungan ingin memberikan uang receh membantu kampanye
Jokowi.. :’)
Pun begitu dengan wartawan, Jokowi sangat
bersahaja. Tak perlu melihat dengan siapa dia berbicara, semua sama bagi
Jokowi. Aku banyak berbicara dengannya selama masa-masa kampanye, saat di atas
kapal menuju Pulau Seribu, atau saat makan siang kala istirahat. Jokowi bagiku
pemimpin juga sahabat.
Pernah satu kali di Kelapa Gading, usai
Jokowi mengisi kampanye dan bersiap pulang, aku bersama seorang kawan dari
Tempo, masih berdiri di sisi jalan, kami sudah selesai liputan. Tiba-tiba
Jokowi baru saja akan jalan, kami yang tengah asyik ngobrol, dikagetkan “Hayo! Mau nanya apa lagi..??! hehe...”
Jokowi melongok dari balik jendela mobil tepat di belakangku. “Hahaha.. Udah
pak, aman. Terimakasih..” kataku sedikit kaget dengan lelucon Jokowi.
Kampanye berlalu, maka tibalah puncak dari
Pilgub DKI yaitu hari pencoblosan. Pencoblosan berlangsung dua putaran. Pada
putaran pertama Jokowi memberi kejutan dengan mengungguli calon lain, maka pada
putaran kedua Jokowi head to head
Jokowi dengan Fauzi Bowo. (Ah, pak kumis, sedikitpun aku tak terpikir ia akan
memimpin Jakarta lagi).
Menghadapi putaran kedua, tak terlalu sulit
bagi Jokowi. Ia unggul telak dibandingkan 5 calon lainnya dalam putaran dua Pilgub
DKI. Bagiku, kemenangan Jokowi dan Ahok adalah kemenangan masyarakat Jakarta,
aku sepakat itu, bahkan kemenangan masyarakat Indonesia. Sampai tak terasa 8
bulan sudah aku mengawal Pilgub DKI, menemani Jokowi-Ahok sampai mereka dinyatakan
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Tanggal 10 Oktober mereka dilantik, aku
buatkan satu tulisan terakhir untuk Jokowi dengan judul ‘Jejak Jokowi Menuju
DKI-1’. Aku merasa senang mengetahui Jokowi-Ahok dilantik. Mereka begitu
dielu-elukan oleh jutaan masyarakat yang ingin menyaksikan Jokowi-Ahok memimpin
DKI. Aku senang karena aku merasa menjadi bagian dari kemenangan itu. Namun
sayang, saat pelantikan Jokowi-Ahok, aku tak ada di hadapan Jokowi, aku berada
di sisi lain. :(
Bahkan sejak beberapa hari sebelum dilantik,
aku mulai digeser dan siap-siap untuk mengisi pos baru, Gedung Parlemen, DPR!
Parlemen
(Oktober-Sekarang)
DPR, sepertinya menjadi mimpi buruk bagi
setiap wartawan. Meski menjaga Pilgub DKI adalah urusan politik, tapi bagiku
DPR dunia yang berbeda. Aku tahu betul seluruh pusat sumber informasi politik
ada di DPR, bahkan aku berpikir rasanya masa depan negara ini hanya dikendalikan
oleh wartawan-wartawan di DPR. Tapi memang, saat diminta mengambil pos DPR,
seolah aku disodori sebilah anak panah, sedikit saja salah aku gunakan, maka
bisa membunuh ‘orang lain’. (Ini soal kekuatan media).
Aku berikan sebuah ilustrasi, jika kau tak
suka dengan tingkah seorang anggota DPR, beritakan saja selama 1 minggu.
Running, mainkan isu, telfon semua pihak terkait. Maka aku pastikan bulan depan
akan ada evaluasi dan akhirnya Di-PAW, paling tidak ya dirotasi! Itu pernah
terjadi. Tapi aku menilai tingkah anggota DPR itu bukan mengada-ada, masalah
itu bersumber dari yang bersangakutan. Karena aku tahu betul menulis berita
bukan tentang suka atau tidak suka, bukan senang atau tidak senang. Tapi objektif
dan independen adalah prinsip yang harus kami pegang.
Maka hingga saat ini, aku masih bersengkarut
di lingkaran politik DPR. Pagi, siang, sore, malam saat hendak tidur, dan pagi
saat bangun lagi, seolah aku hanya memikirkan politik, memikirkan negara?. Ini
jauh lebih pusing daripada memikirkan’mu’. Tapi ya sudahlah, aku senang
menulis, pun aku senang berkelit dengan politik. Selama menulis!
Selanjutnya: [Catatan Jurnalis #3] Lebih Dekat dengan Detikcom
0 comments:
Posting Komentar