21 Januari 2008

Gila No. 2: Ngakak di bawah Monas

-Rabu, 09 Jan ’08-

Ini Ide gila kedua yang ada di otak butex anak2 Villa, setelah ide gila pertama: “UAS dan Keajaiban Bersedekah...

Malam itu, ketika waktu membunuh angka 7 pada malam hari, dan di saat kita semua anak VILLA sedang berada di kontrakan, tiba-tiba Ade berseru:

“Woi, daripada engga ada kerjaan, mau engga pada jalan-jalan keliling Jakarta? Iseng aja lah... ntar juga ketemu tempat yang asyiknya di mana”. “De, Jakarta sih itu-itu aja tempatnya, ga da yang aneh...” jelas Fajar. “Ye... kemana keq!! gw dah biasa kayak gitu, jalan aja sembarangan, daripada diem di kosan.” Timpal Ade. “Ya dah, gw setuju. Beneran ne? Pokoknya musti jalan ampe cape’ tu kaki. Kita cari tantangannya di sudut-sudut kota Jakarta ok?” Jelasku. “Gw sih ok aja...”. Tambah Obi yang disambung dengan anggukan kepala Adam. “Ya dah, semuanya mandi dulu gih, kita siap keluar malem ini...” tambah Ade mantab.

-19.35 p.m.-

Semuanya telah selesai mandi dan shalat Isya, kemudian bersiap-siap dengan kostum masing2. Semuanya membawa KTP untuk antisipasi kemungkinan hal2 terburuk yang mungkin terjadi, kartu2 lain yang biasanya memenuhi dompet, kali ini tidak diikutsertakan. Alat komunikasi tentunya selalu dibawa, kecuali Obi, karena HP-nya memutuskan diri untuk “bercerai” dari Obi seminggu yang lalu. Jadi alat komunikasi yang dibawa Obi hanya telepati. Hahaha...

“Busyet!! Udah kayak mau ke mana aja neh...” seru Obi.

Maka kita pun beranjak pergi dan berjalan sampai di simpang empat Kampung Utan.

“Jadi sekarang mau ke mana ne De?? Kalo jalan dari sini ga da yang rame, ciputat, Bintaro, Cilandak.. ga seru..” tanya Fajar.

“Kita mulai dari Blok M aja, dari situ kita startnya, liat-liat gedung keq nantinya...” jelas Ade. “Ooo.. dari tadi ternyata kita cuma mau nganterin orang norak jalan2??!!” seru Fajar.

Wakakakakak..... “Dah lah makan dulu ne... biar tenangan dikit jalannya.” pinta Obi. “Makan menyebabkan ke-Bego-an, dah makan ngantuk, ngantuk ya tidur...!! “ jelas Fajar. Hahahaahaa......... Ngakak terus...

“Jadinya ke mana? Blok M aja yakin?.” Seruku. “Kayaknya ke Bogor asyik tuh... Kebun Raya. Malem ini jalan2 di Bogor, terus tidur di pinggir jalannya, paginya baru masuk Kebun Raya...” Jelas Adam. “Asyik juga tu... jangan ke kota mulu jalannya, kan seru kalo jalan banyak pepohonan.” tambah Fajar. “Bogor tar lagi deh... sayang ne ga da yang bawa kamera, momentnya bakal bagus banget tu di Kebun Raya, agenda berikutnya lah....” seruku. “Ya dah, agenda berikutnya ne...” Tambah Obi. “Woii, tu mobil P16 yang mau ke Blok M, naek ga nih...??” terang Adam. “Ya naek, naek...” seru Ade.

Maka kita semua menaiki bis yang akan melaju menuju daerah Utara Jakarta itu.

Butuh sekitar 30 menit untuk perjalanan dengan bis di malam hari, tapi ternyata bukan di Blok M kita berhenti, kita berhenti di Bundaran HI. Entahlah maksudnya apa, tapi aku mulai menikmati perjalanan malam ini... pastinya karena bersama anak2 gila—tanpa tanda kutip--.

Kita berjalan-jalan sepanjang Grand Indonesia, maka di sepanjang pinggir jalan itu jajaran pedagang malam menyambut kami, dan entah mungkin karena memiliki daya tarik tersendiri, kita berhenti di salah satu pedagang yang tak asing lagi bagi kita, nasi goreng. Ya, kita makan malam itu dengan menu nasi goreng, spesial dari HI... “Gimana engga keren coba, makan nasi goreng aja di HI...” Terang Fajar. Hahahahahaa.....!!

Selesai menikmati nasi goreng ala HI, kita mulai berjalan menuju bundaran HI.

Mall dan Apartement Grand Indonesia relatif sepi, padahal masih jam 8 malam. Tapi maklum lah, karena ada beberapa gedung juga yang baru dibangun, konon ini bakal jadi Mall terbesar di Indonesia. Di jalanan sekitar HI orang-orang terlihat cukup ramai berlalu-lalang, dan beberapa pengendara motor yang banyak terparkir di pinggiran jalannya.

Kita terus berjalan, mengamati sekitar, menyebrang jalan yang dijejali kendaraan, hingga kita sampai di depan kolam air Bundaran HI.

Setiba di pinggir kolam air itu, aku benar2 takjub dibuatnya. Luar biasa! Sungguh arsitektur yang indah. Aku salut pada Soekarno dalam kapasitasnya sebagai seorang Insinyur, beliau cerdas dan berani membuat “genangan air” di tengah sesaknya ibukota.

Kita duduk-duduk di pinggir kolam itu. Dan untuk sesaat kita menikmati kesegaran yang ditawarkan oleh berkubik-kubik air di tengah kota Jakarta ini.

“Bi, coba kalo Bung Karno bukan insinyur, gw yakin kolem ini ga bakal ada. Tapi karena dia insinyur, dia bisa buat karya2 di Jakarta kayak gini, sama juga tu kayak monas..” Jelasku pada Obi.

-Di salah satu sudut bundaran HI itu kami melepas penat- (bundaran tak memiliki sudut cuy..!! Hehe..)

Maka penat dan jenuh pun seakan larut dibawa riak air yang terus bergemuruh dan memancar keluar diantara patung tani yang menjulang di tengahnya. “Jar, lo mau engga gawe dapet gaji satu juta per-bulan??” Cetus Obi. “Apaan??” “Gampang! Lo gantiin aja Patung Tani yang ada di atas sana gih...” jelasnya sambil menunjuk ke atas tempat patung itu berdiri. “Sialan lo!!”

Kita cukup menikmati suasana HI malam itu, walau hanya sekedar duduk2 dan bergelut dengan ocehan2 konyol khas anak2 villa gila. Yang jika sampai kiamat tiba pun, ocehan2 itu tak kan pernah mungkin dicetak menjadi sebuah buku, terlalu konyol!!

“Woi, lanjut jalan donk...Baru nginjek HI ne..!!” teriak Ade.

-21.45 a.m- Kami bertolak dari HI. Dan sesuatu yang tidak bisa dianggap kebetulan pun terjadi. Beberapa langkah saat kami meninggalkan Bunderan HI...

“Bal, lo liat tu, aernya mati... berarti ngerti tu aer, dia bakal mati klo kita dah pergi...” Seru Fajar sambil menunjuk ke belakang, dan sekarang air mancur di bundaran HI itu benar2 mati tepat di saat kita baru beranjak pergi. Hahahahaha.....

Kali ini kita benar-benar berjalan, (tadi boonk-an), menaklukkan pinggiran gedung-gedung tinggi yang angkuh dan congkak berdiri. (yee...cuma pinggiran gedungnya doank..Hehe)

Entah jalan apa ini yang sedang dijajaki. Kita melewati MU-CAFE, lalu berbelok ke sebelah kanan. Dan di tengah perjalanan, tampak di seberang jalan sepasang bule tengah berjalan dengan gaya jalan yang terburu-buru..

(Aku mengerti, mengapa para bulewan dan bulewati biasa berjalan cepat dan selalu terburu-buru?! Itu karena mereka sadar akan dosanya!! Ya, mereka berkejar-kejaran dengan malaikat pencatat amal buruk. Jika lambat sedikit saja dalam berjalan, maka tentu mereka akan tertangkap razia malaikat dan dicatat amalan2 buruknya itu...) Hehe.. Peace buLe, pisS...!!

Ide gila muncul untuk membuntuti sepasang bule penuh dosa itu. Tapi sayang, baru saja ide itu muncul, mereka malah berbelok menuju jalan lain yang bukan jalan pilihan kita. (Karena jalan kita adalah jalan yang lurus—Sirathal Mustaqim, bukan jalan berbelok yang sesat). Dan sepertinya bule itu membaca pikiran kita, jail juga tu bule...

Setelah gagal membututi bule, lalu kita memasuki satu daerah yang awalnya kita tidak ketahui daerah apa itu. Sebuah jalan tapi tidak terlalu lebar, dengan kafe di kiri kanannya, dan untuk beberapa kali kita berpapasan dengan bule2 gila lain, (tidak lebih gila dari kita koq).

“Hai seksi Lady...” Goda bulewati kepada teman sesamanya sambil menyentuh bagian paha atas temannya itu. Uuhh... apaan tu maksudnya Le??

Beberapa kafe tampak disuguhi dengan musik2 karaoke, aku mengenal salah satu lagu yang dinyanyikan, itu welcome to my paradise-nya Steven and Coconuttrezz. Beberapa bule tampak berkerumun, diantaranya hanya memadati jalan2 di luar kafe. Keluar dari jalan itu, sebuah papan nama terbentang di ujung jalan itu.

WISATA MALAM

“O yah... ini Jalan Jaksa, gw tau ne...” jelas Ade.

Kalo Ade bilang ini Bali-nya Jakarta, di mana sepanjang jalan ini akan selalu dipenuhi bulewan dan bulewati yang mencari kesenangan tersendiri pada malam hari.

“Woi, tu monas...!!” seru Fajar sambil menunjuk puncak monas yang tampak waktu kami baru saja keluar dari jalan Jaksa.

“O yeah... dah deket ma monas lagi ne.. ayo ke sana Jar...” Timpalku girang.

Dengan suka cita, kita pun meneruskan perjalanan menuju monas, tampak dekat memang dari jalan Jaksa, tapi ternyata jauh juga jika ingin melihat dari dekat.

“Uuhhh... dah nyampe monas lagi ne.. Keren, keren.. bisa jalan gini ampe Monas!!” seruku ketika kami baru memasuki gerbang monas.

Maka perjalanan benar-benar terasa menyenangkan, letih berjalan pun terbayar dengan pemandangan indah di depan kami saat itu. Monumen Nasional yang kokoh berdiri.

Kita duduk di bahu jalan tepat di bawah monas, merebahkan badan dan duduk senyaman mungkin dalam kekonyolan yang mulai dihadirkan kembali anak vila.

-22.50 a.m.-

Malam ini adalah malam tahun baru Islam. Tapi mengapa tidak ada juga panggung yang berdiri?? Tidak tampak manusia yang rela berjejalan untuk bertahun baru di sini seperti tahun baru beberapa hari yang lalu?? Ke mana mereka?? Juga kendaraan2 mereka yang seharusnya memadati area parkir monas untuk merayakan tahun baru Islam? Tidakkah mereka melihat mana yang lebih berarti daripada Islam?? Hmm...Sepertinya rupa agamaku tidak lagi bisa dibanggakan. Islam cukup sebagai status. Dan mereka kehilangan ruhnya. Batinku bergumam

Beberapa orang tampak berlalu-lalang di sekitar halaman Monas. Mereka berjalan-jalan, bahkan ada yang tampak sedang berolahraga. Ya wajar jika sekarang monas dikunjungi beberapa orang, karena besok adalah hari libur nasional.

“Dan monas pun bergelagak tawa bersama kami dalam kekonyolan...”

Tidak pernah kami mendapatkan malam senikmat itu. Dan tidak pernah kami bergelagak ngakak sepuasnya kecuali saat di bawah monas itu. Tentu saja itu karena ide ngocol Fajar yang sedang berlumeran keluar dari otaknya yang butex.

“Duh, keren ne kalo ada kopi...” seru Ade. “Mas, kopinya Mas...??!!” tanya penjaja kopi yang kebetulan melintas di samping kita. “Nah... doa lu terkabul De, baru aja minta kopi, nih dia dateng...” terang Adam “Ya Mbak, kopinya satu deh...” Jelas Ade. “Malam yang luar biasa! Nasi Goreng HI tambah kopi Monas...” Imbuhnya.

-00.01 a.m.-

Alhamdulillah... kita baru saja menginjak tahun baru Islam. Suara kembang api terdengar dari tempat yang jauh, rupanya masih ada orang-orang yang mau merayakannya. Syukur lah..

Walau malam sudah cukup larut, tapi kami masih nyaman dengan angin sejuk yang ditawarkannya. Langit di atas monas terlihat cerah dengan beberapa bintang yang sepertinya bintang2 itu justru menikmati malam, bukan menyuguhkan malam seperti bulan.

“Besok ke Baduy yuk??” tanya Adam di tengah2 obrolan. “Boleh juga tu.. gila, sekalian gila. Kita ke Baduy besok nih...” Ade menyahut. “Oke-okeh... kita berangkat besok.” Tambah Obi dan Fajar mantab. “Ongkosnya murah koq, bawa 20 ribu juga cukup untuk pulang-pergi, kan naek kereta yang 2.500. Bal lo gimana?” tanya Adam lagi. “Gw, ga yakin bisa ikut. Nyokap pernah larang gw ke Baduy waktu kita ada rencana ke Baduy selesai acara di Situ Gintung dulu. Tapi gw pengen nih... Tar deh gw pikirin lagi.” Jelasku.

Maka sejak dicetuskan ide gila untuk pergi ke baduy nanti pagi, aku dibuat bingung bagaimana caranya aku bisa ke sana, sementara Ibu pernah melarang itu. Ah.. inferioritas!!

-00.20 a.m.- Kita sudah cukup lelah terbahak-bahak, dan sudah terlalu lama bergumul dengan malam yang tidak selamanya menawarkan kesejukan. Maka kami pun beranjak pergi meninggalkan monas dengan mengambil jalan keluar yang berbeda dari jalan masuk tadi.

Tepatnya, kami meninggalkan monas untuk kembali menjajaki detik-detik malam. Kami ingin melebur menjadi bagian dari pekat malam, menjadi substansi dari angin, dan akan menghilang bersama kegaduhan yang lenyap ditikam malam.

Setelah berjalan beberapa puluh langkah dari monas, kami berhenti dan duduk tepat di halte yang berhadapan langsung dengan Bank Indonesia. Saat itu tubuh kami mulai terasa lelah, sulit untuk terbahak-bahak lagi. Hanya gurauan dan obrolan yang tersisa. Maka di halte itu kami menunggu angkot yang akan menuju ke kebayoran.

-00.40 a.m.-

Kami naik angkot menuju pasar kebayoran.

Selama di angkot, mataku sudah terasa sulit untuk terjaga, beberapa kali aku mengantuk. “Bal, lu di sini duduknya ne.. jangan di pinggir pintu gitu, jatoh lu..” Pinta Fajar yang diamini Ade. Aku tahu bahwa saat itu hanya aku yang benar2 telah mengantuk. Tapi aku hiraukan saran Fajar, dan aku mencoba menahan rasa kantuk yang sangat malam itu. Bahkan aku tertidur untuk 1 hingga 3 menit di angkot, untungnya tidak sampai terjatuh.

Jam menunjukkan pukul 1 malam. Kita tiba di kebayoran, tepat di depan pasar kebayoran yang sudah dipadati “manusia2 pasar”. Ternyata sekalipun telah turun dari angkot, mataku masih memaksa untuk tidak terjaga. Setelah ku lawan semampu mungkin dengan melihat-lihat aneka barang dagangan yang dijajakan di pasar, perlahan mataku mulai bersahabat. Dan kita pun berjalan-jalan di sepanjang pasar. “Duh, sekalian aja belanja buat villa, sayuran keq, apaan aja dah...” seru Fajar.

Karena kami bukan manusia yang biasa berurusan dengan pasar, maka kami bingung sekiranya apa saja yang harus dibelanjakan untuk kepentingan kontrakan. Hingga akhirnya, hanya satu buah semangka seharga 5ribu yang berhasil kami bawa pulang ke villa. Dari pasar kebayoran, kami menlanjutkan perjalanan menaiki kendaraan ke arah ciputat.

-01.30 a.m.-

Kami tiba kembali di villa.

Setelah mencuci muka dan bersikat gigi, aku bersiap untuk benar2 tidur malam itu. Merebahkan tubuh yang terlalu letih, meremajakan otot yang lemah bergerak, dan mengistirahatkan setiap bagian dari sudut2 otak, serta meninabobokan diri dalam mimpi yang absurd.

---Terima kasih malam, kau telah menawarkan sudut terindahmu untuk kami nikmati dalam kekonyolan, dan untuk segalanya yang telah mewujudkan kegilaan no. 2.

Next Story :

Gila No. 3: “Baduy! We’re Coming...!!”

2 comments:

My_HunT mengatakan...

Subhanallah ya...
Kalian emg ank2 anker!!!
Emg bru staon stgh d Psikologi, blm ckup buat brobat jalan kalian pada!
Peace...!
;)

Btw, blh donk obsesi "Aisha"!
Target cuy!
Wekeke...
Klo ad "Fahri Bin Borat", klo Aisha Binti ap ya...?
Hehehe...
Sama2 edisi revisi!
;p

Ahmad Ragen mengatakan...

Berobat n9esoT kale... HEHE..

Diberdayakan oleh Blogger.