06 Januari 2013

Cerita Dua Anak Jalanan di Masjid Istiqlal



Jumat, 4 Januari 2013
Langit mulai gelap saat aku baru tiba di parkiran motor Masjid Istiqlal. Baru mematikan motor, aku disambut dua anak kecil berkaos yang menghampiri motor yang baru saja aku parkir. “Om, sedekah om..” kata salah seorang anak sambil menjulurkan tangannya di hadapanku. Belum sempat aku jawab, ia kembali meminta. “Om, buat beli seragam om. Sedekahnya..” ucapnya manja menarik bajuku.
“Wah, udah salat magrib belum?” tanyaku.
“Belum om.. Sedekahnya om,” jawabnya sambil memainkan kaitan helm yang aku simpan di atas kaca spion.
“Udah, salat aja dulu. Sedekahnya nggak halal kalau nggak salat, ayo salat dulu,” pintaku.
“Nggak boleh om, dilarang sama satpamnya,” kata bocah satunya lagi  serius.
“Ha? Satpam mana?” tanyaku masih duduk di atas motor.
“Itu om satpam masjid, sama ibu,” jawabnya.
“Udah. Salat aja, siapa yang larang? Ayok bareng,” kataku.
“Aku nggak ada sarung om,” ucapnya.

“Ada di dalam, ayo,” lanjutku. Kedua anak itu manggut. Dan aku turun dari motor.


Aku berjalan dari parkiran motor menuju ke dalam masjid bersama kedua bocah yang masih berusia sekitar 6 tahun itu. Sesekali aku acak-acak rambut bocah yang belakangan diketahui bernama Agung, sementara satunya aku lupa namanya. Hehe

“Om, om. Tau nggak ini apa?” kata Agung sambil mengacungkan jari telunjuknya di hadapanku.
“Itu jari,” aku berkilah. Pikirku anak itu sedang mengisyaratkan angka satu, yang kemudian dia mungkin akan berkata dia perlu Rp 10 ribu.
“Bukan om,, ini joki namanya!” kata Agung sambil berlari kecil mendahuluiku.
“Ha? Hahahaha....” aku tertawa. Rupanya si Agung sedang menunjukkan padaku bagaimana caranya seorang joki menstop mobil di pinggir jalan sebelum memasuki three in one.
“Ibu saya joki om,”  lanjutnya manja  dan sesekali berlari memutariku.

Kami pun berjalan memasuki masjid istiqlal. Kedua anak itu masih mengikuti. “Wudu dulu sana,” kataku. Kedua anak itu menuju tempat wudu, sementara aku menyimpan sepatu di tempat penitipan sandal/sepatu.

Agung yang sedang wudu, tampak mengawasiku yang tengah menyimpan sepatu di tempat penitipan. Dan saat giliran aku wudu, kedua anak itu masih saja mengajakku mengobrol. “Om om, airnya bisa diminum kan?” kata Agung. Tapi tak aku jawab karena aku belum menyelesaikan wuduku.
“Hmm.. enak,” ucapnya menyeruput sedikit air wudu. Haduh! Kacau ini anak. Itu bukan untuk diminum!

Kami pun berjalan ke lantai 2 masjid istiqlal.
“Om, aku pinjam sarung dulu,” kata kawan si Agung. Ia kemudian berjalan menuju ruang peminjaman sarung/mukena di lantai dua sebelum masuk ke dalam masjid.
Seorang penjaga tempat peminjaman tampak ragu ingin meminjamkan sarungn kepada bocah kawan si Agung, karena tentu ia mengenal bocah kelas 1 SD yang sudah menjadi ‘penghuni pelataran masjid istiqlal itu. Tapi karena aku berdiri di depan ruangan menemaninya meminjam sarung, akhirnya petugas yang sudah cukup tua itu mau meminjami juga sarung kepada kawan si agung untuk salat.

“Om, pakaiin sarungnya,” pintanya tanpa ragu sambil memberikan sarung kecil itu kepadaku.
“Sini,” aku mengambil sarungnya dan ia mengangkat sedikit kaosnya yang agak kumal. Sarung kecil berwarna hijau itu aku masukkan melalui atas kepalanya dan melipatnya dipinggang bocah kawan si Agung itu. Saat aku memakaikan sarung kepadanya, aku jadi teringat saat aku masih kecil. Dulu, aku selalu meminta ayahku memakaikan sarung jika kita hendak salat. Hingga kira-kira kelas 4 SD, aku baru bisa memakai sarungitu sendiri.

Lalu, di shaf keempat dari belakang aku meminta mereka berdiri di samping kiri dan kananku, sementara aku bertindak menjadi imam.
“Qamat dulu,” pintaku pada bocah satunya.
“Apa itu om?” jawabnya. Wadduh!
“Bisa qamat?” tanyaku pada Agung. Ia hanya geleng-geleng.
“Ya dah berdiri di sini,” kataku membenarkan posisi mereka. Kedua anak itu malah becanda bergeser-geser posisi. Tapi akhirnya mereka berdiri disamping kiri dan kananku sedikit agak ke belakang.
“Om baca yang keras ya,”
“iya,” jawabku.

Selama salat, rupanya si Agung ini senang bercanda. Sesekali ia malah memainkan koin Rp 500 miliknya, lalu mengikuti gerakan salat dan sesekali berputar di belakangku. Haduh! Nakal betul si Agung ini. Sementara bocah satunya yang memakai sarung, tampak khusyu mengikutiku, meski aku tak yakin dia benar-benar membaca bacaan salat. Hehe

Usai salat, aku menyalami Agung yang berada di sebelah kiriku dan juga rekannya yang berada di sebelah kanan. Saat aku tengah berdoa, kawan si Agung yang di sebelah kanan, rupanya serius memperhatikan apa yang aku lakukan. “Jangan becanda kalau salat..” kataku.
“Suka salat nggak?” tanyaku lagi.
“Suka om, waktu itu aku di shaf paling depan sama ... (dia menyebut 5 org kawannya), tapi yang lain becanda, aku mah diem ikutin aja,” ujar bocah bersarung itu sambil menunjukkan caranya salat dengan gaya serius meletakkan kedua tangan di dada dan mata terpejam. haha *gayanyakocak*
“Om om, di lantai 5 ada setannya lho om..” ia menimpali.
“Ha? Kata siapa? Nggak ada ah,”
“Om kan suka salat,” ucapnya.
“Nah, berarti setannya cuma samperin yang nggak salat dong?”
“Iya om,”
“Hahaha... Makanya salat..” kataku.

Aku merasa masih betah berada di dalam masjid dan asyik berkelakar dengan dua kawan baru ini. Mereka tak menagih ‘uang sadaqahku, pun tidak menanyakan kapan aku meninggalkan masjid. Mereka justru tampak asyik bercerita. “Om om, ibuku joki om,” kata Agung mengulang pernyataannya.
“Berapa dapatnya kalau jadi joki?” tanyaku.
“Kadang Rp. 100 ribu, kadang Rp. 200 ribu, ibu punya langganan,” jawab Agung.
“Ha?? Ada langganan? Rp 200 ribu? Hahaha..” aku hanya bisa geleng-geleng.
“Agung punya langganan juga om,” temannya menimpali.
“Iya om, biasanya aku sama... Om Herman, mobilnya Pajero Sport,” kata Agung sambil mengingat langganannya.
Hahaha.. seru juga kayaknya jadi joki. 

Ya, ternyata menjadi Joki three in one itu semacam menjual jasa dan kita punya pelanggan. Haha..
“Nanti salatnya jangan cuma sekarang, isya juga ya..” kataku.
“Om, mau salat isya nggak?” tanya kawan si Agung.
“Mmm...” Aku belum bisa pastikan karena aku masih ada 2 berita yang harus segera aku selesaikan. Sementara adzan isya tinggal 15 menit lagi. “Ya kita lihat nanti,” lanjutku.



Kedua anak itu tampaknya masih betah di masjid, sesekali si Agung berlari-lari di dalam masjid, dan kawan satunya selonjoran. Tiba-tiba si Agung duduk disampingku dan ia menghitung uang hasilnya ‘meminta sadaqah’.
“Wih, banyak uang kamu itu,” kataku.
“Iya om,” ucap Agung.
“Tapi harus rajin salat biar uangnya halal dapat pahala,” kataku. 
"Iya," jawabnya.
Usai betah di dalam masjid, aku ajak mereka keluar. “Ayo turun lagi,” kataku.

Kawan si Agung mengembalikan sarung yang dipinjamnya ke bagian petugas masjid di lantai dua sebelum tangga turun. Bagiku, mereka bisa salat saja aku sudah senang, meski aku yakin mereka tak paham maksudnya dan apa yang mereka cari dari salat itu. Ya setidaknya pembiasaan.
“Jadi salat itu karena mau pahala apa uang?” tanyaku di pelataran masjid sambil berjalan menuju parkiran kembali.
“Pahalaa...” jawab mereka kompak.
“Serius? Terus nggak usah sadaqah ya? Haha..” Mereka hanya mesem-mesem.
Sambil berjalan menuju parkiran motor, ternyata ada dua anak lain yang mengikuti kami. Mereka masih rekan dua bocah yang aku ajak salat.
“Om sadaqah om.. Beli seragam om..” kata bocah baru yang lebih kecil usianya dari Agung.
“Hahaha... Tiap hari beli seragam?” kataku. Saat di dalam masjid, Agung sempat cerita soal modus ‘beli seragam’, Agung memang berkilah bahwa seragamnya kadang mudah rusak atau hilang, tapi ya kita jadi sama-sama paham kalau itu hanya modus sadaqah. Hehe
“Udah salat?” tanyaku pada bocah baru itu.
Ia hanya diam. “Salat dulu..” kataku.
“Ia aku mah udah salat..” timpal si Agung sedikit bangga.

Di parkiran. Sebetulnya aku masih ingin bercanda dengan dua kawan kecil yang baru aku kenal itu. Tapi rupanya aku masih ada tugas yang belum selesai.
“Om kesini lagi nggak,” tanya kawan si Agung.
“Ya nanti om ke sini lagi, sering ke sini,” kataku sedikit berbohong.
“Berapa nomornya?” kata kawan baru yang tak ikut salat sambil memperhatikan plat nomor motorku di bagian depan. Waduh!! Cerdas sekali bocah ini, siapa yang mengajari untuk menghafal plat nomor. “Hahaha.. Kamu pake dilihat plat nomornya segala,” kataku menertawakan bocah kecil yang coba menghafal plat nomorku.

Usai sedikit candaan penutup. Di dalam dompetku kebetulan masih ada lumayan uang receh yang ada saat itu. Uang itu aku berikan pada Agung. “Ini untuk berdua ya, yang lainnya salat dulu,” kataku. Agung dan rekannya yang aku sebut si sarung hijau sumringah menerima uang itu sambil mulai berjalan  kecil meninggalkan motor. “Ya dah om pergi dulu ya.. Jangan lupa salat. Daa..” aku meninggalkan parkiran.

---------------
Hm.. Satu cerita dari sisi lain pekerjaan. Padahal sore itu aku berada di Istiqlal usai mengecek kali ciliwung di masjid Istiqlal kaitannya dengan proyek Jokowi. Dari masjid Istiqlal aku menuju sevel menteng. Aku selesaikan dua berita dan lanjutkan dengan menulis catatan ini. Hari yang menyenangkan! :) -Sevel Menteng, 4 Januari 2013- 

0 comments:

Diberdayakan oleh Blogger.