Jumat, 4 Januari
2013
Langit mulai gelap
saat aku baru tiba di parkiran motor Masjid Istiqlal. Baru mematikan motor, aku disambut
dua anak kecil berkaos yang menghampiri motor yang baru saja aku parkir.
“Om, sedekah om..” kata salah seorang anak sambil menjulurkan tangannya di
hadapanku. Belum sempat aku
jawab, ia kembali meminta. “Om, buat beli seragam om. Sedekahnya..” ucapnya manja
menarik bajuku.
“Wah, udah salat magrib belum?” tanyaku.
“Belum om.. Sedekahnya om,” jawabnya sambil memainkan kaitan helm yang aku simpan di atas kaca spion.
“Udah, salat aja dulu. Sedekahnya nggak halal kalau nggak salat, ayo salat dulu,” pintaku.
“Wah, udah salat magrib belum?” tanyaku.
“Belum om.. Sedekahnya om,” jawabnya sambil memainkan kaitan helm yang aku simpan di atas kaca spion.
“Udah, salat aja dulu. Sedekahnya nggak halal kalau nggak salat, ayo salat dulu,” pintaku.
“Nggak boleh om,
dilarang sama satpamnya,” kata bocah satunya lagi serius.
“Ha? Satpam mana?”
tanyaku masih duduk di atas motor.
“Itu om satpam masjid, sama ibu,” jawabnya.
“Itu om satpam masjid, sama ibu,” jawabnya.
“Aku nggak ada
sarung om,” ucapnya.
“Ada di dalam, ayo,”
lanjutku. Kedua anak itu manggut. Dan aku turun dari motor.
Aku berjalan dari
parkiran motor menuju ke dalam masjid bersama kedua bocah yang masih berusia
sekitar 6 tahun itu. Sesekali aku acak-acak rambut bocah yang belakangan diketahui bernama Agung, sementara satunya aku lupa namanya. Hehe
“Om, om. Tau nggak
ini apa?” kata Agung sambil mengacungkan jari telunjuknya di hadapanku.
“Itu jari,” aku
berkilah. Pikirku anak itu sedang mengisyaratkan angka satu, yang kemudian dia
mungkin akan berkata dia perlu Rp 10 ribu.
“Bukan om,, ini joki
namanya!” kata Agung sambil berlari kecil mendahuluiku.
“Ha? Hahahaha....”
aku tertawa. Rupanya si Agung sedang menunjukkan padaku bagaimana caranya seorang joki
menstop mobil di pinggir jalan sebelum memasuki three in one.
“Ibu saya joki
om,” lanjutnya manja dan sesekali berlari memutariku.
Kami pun berjalan
memasuki masjid istiqlal. Kedua anak itu masih mengikuti. “Wudu dulu sana,”
kataku. Kedua anak itu menuju tempat wudu, sementara aku menyimpan sepatu di tempat
penitipan sandal/sepatu.
Agung yang sedang
wudu, tampak mengawasiku yang tengah menyimpan sepatu di tempat penitipan. Dan
saat giliran aku wudu, kedua anak itu masih saja mengajakku mengobrol. “Om om,
airnya bisa diminum kan?” kata Agung. Tapi tak aku jawab karena aku belum
menyelesaikan wuduku.
“Hmm.. enak,”
ucapnya menyeruput sedikit air wudu. Haduh! Kacau ini anak. Itu bukan untuk
diminum!
Kami pun berjalan ke
lantai 2 masjid istiqlal.
“Om, aku pinjam
sarung dulu,” kata kawan si Agung. Ia kemudian berjalan menuju ruang peminjaman
sarung/mukena di lantai dua sebelum masuk ke dalam masjid.
Seorang penjaga
tempat peminjaman tampak ragu ingin meminjamkan sarungn kepada bocah kawan si
Agung, karena tentu ia mengenal bocah kelas 1 SD yang sudah menjadi ‘penghuni
pelataran masjid istiqlal itu. Tapi karena aku berdiri di depan ruangan
menemaninya meminjam sarung, akhirnya petugas yang sudah cukup tua itu mau
meminjami juga sarung kepada kawan si agung untuk salat.
“Om, pakaiin
sarungnya,” pintanya tanpa ragu sambil memberikan sarung kecil itu kepadaku.
“Sini,” aku
mengambil sarungnya dan ia mengangkat sedikit kaosnya yang agak kumal. Sarung
kecil berwarna hijau itu aku masukkan melalui atas kepalanya dan melipatnya
dipinggang bocah kawan si Agung itu. Saat aku memakaikan sarung kepadanya, aku
jadi teringat saat aku masih kecil. Dulu, aku selalu meminta ayahku memakaikan sarung
jika kita hendak salat. Hingga kira-kira kelas 4 SD, aku baru bisa memakai
sarungitu sendiri.
Lalu, di shaf keempat
dari belakang aku meminta mereka berdiri di samping kiri dan kananku, sementara
aku bertindak menjadi imam.
“Qamat dulu,”
pintaku pada bocah satunya.
“Apa itu om?”
jawabnya. Wadduh!
“Bisa qamat?”
tanyaku pada Agung. Ia hanya geleng-geleng.
“Ya dah berdiri di
sini,” kataku membenarkan posisi mereka. Kedua anak itu malah becanda
bergeser-geser posisi. Tapi akhirnya mereka berdiri disamping kiri dan kananku
sedikit agak ke belakang.
“Om baca yang keras
ya,”
“iya,” jawabku.
Selama salat,
rupanya si Agung ini senang bercanda. Sesekali ia malah memainkan koin Rp 500
miliknya, lalu mengikuti gerakan salat dan sesekali berputar di belakangku.
Haduh! Nakal betul si Agung ini. Sementara bocah satunya yang memakai sarung, tampak khusyu
mengikutiku, meski aku tak yakin dia benar-benar membaca bacaan salat. Hehe
Usai salat, aku
menyalami Agung yang berada di sebelah kiriku dan juga rekannya yang berada di
sebelah kanan. Saat aku tengah berdoa, kawan si Agung yang di sebelah kanan,
rupanya serius memperhatikan apa yang aku lakukan. “Jangan
becanda kalau salat..” kataku.
“Suka salat nggak?”
tanyaku lagi.
“Suka om, waktu itu
aku di shaf paling depan sama ... (dia menyebut 5 org kawannya), tapi yang lain
becanda, aku mah diem ikutin aja,” ujar bocah bersarung itu sambil menunjukkan
caranya salat dengan gaya serius meletakkan kedua tangan di dada dan mata terpejam. haha *gayanyakocak*
“Om om, di lantai 5
ada setannya lho om..” ia menimpali.
“Ha? Kata siapa?
Nggak ada ah,”
“Om kan suka salat,”
ucapnya.
“Nah, berarti
setannya cuma samperin yang nggak salat dong?”
“Iya om,”
“Hahaha... Makanya
salat..” kataku.
Aku merasa masih betah berada di dalam masjid dan asyik berkelakar dengan dua kawan baru ini. Mereka tak menagih ‘uang
sadaqahku, pun tidak menanyakan kapan aku meninggalkan masjid. Mereka justru
tampak asyik bercerita. “Om om, ibuku joki om,” kata Agung mengulang
pernyataannya.
“Berapa dapatnya
kalau jadi joki?” tanyaku.
“Kadang Rp. 100
ribu, kadang Rp. 200 ribu, ibu punya langganan,” jawab Agung.
“Ha?? Ada langganan? Rp 200 ribu? Hahaha..” aku hanya bisa geleng-geleng.
“Agung punya langganan juga om,” temannya menimpali.
“Iya om, biasanya aku sama... Om Herman, mobilnya Pajero Sport,” kata Agung sambil mengingat langganannya.
Hahaha.. seru juga kayaknya jadi joki.
Ya, ternyata menjadi Joki three in one itu semacam menjual jasa dan kita punya pelanggan. Haha..
Ya, ternyata menjadi Joki three in one itu semacam menjual jasa dan kita punya pelanggan. Haha..
“Nanti salatnya
jangan cuma sekarang, isya juga ya..” kataku.
“Om, mau salat isya
nggak?” tanya kawan si Agung.
“Mmm...” Aku belum
bisa pastikan karena aku masih ada 2 berita yang harus segera aku selesaikan.
Sementara adzan isya tinggal 15 menit lagi. “Ya kita lihat nanti,” lanjutku.
“Wih, banyak uang
kamu itu,” kataku.
“Iya om,” ucap
Agung.
“Tapi harus rajin
salat biar uangnya halal dapat pahala,” kataku.
"Iya," jawabnya.
"Iya," jawabnya.
Usai betah di dalam
masjid, aku ajak mereka keluar. “Ayo turun lagi,” kataku.
Kawan si Agung
mengembalikan sarung yang dipinjamnya ke bagian petugas masjid di lantai dua
sebelum tangga turun. Bagiku, mereka bisa salat saja aku sudah senang, meski aku yakin
mereka tak paham maksudnya dan apa yang mereka cari dari salat itu. Ya setidaknya pembiasaan.
“Jadi salat itu
karena mau pahala apa uang?” tanyaku di pelataran masjid sambil berjalan menuju
parkiran kembali.
“Pahalaa...” jawab
mereka kompak.
“Serius? Terus nggak
usah sadaqah ya? Haha..” Mereka hanya mesem-mesem.
Sambil berjalan
menuju parkiran motor, ternyata ada dua anak lain yang mengikuti kami. Mereka masih
rekan dua bocah yang aku ajak salat.
“Om sadaqah om..
Beli seragam om..” kata bocah baru yang lebih kecil usianya dari Agung.
“Hahaha... Tiap hari
beli seragam?” kataku. Saat di dalam masjid, Agung sempat cerita soal modus
‘beli seragam’, Agung memang berkilah bahwa seragamnya kadang mudah rusak atau
hilang, tapi ya kita jadi sama-sama paham kalau itu hanya modus sadaqah. Hehe
“Udah salat?”
tanyaku pada bocah baru itu.
Ia hanya diam.
“Salat dulu..” kataku.
“Ia aku mah udah
salat..” timpal si Agung sedikit bangga.
Di parkiran.
Sebetulnya aku masih ingin bercanda dengan dua kawan kecil yang baru aku kenal
itu. Tapi rupanya aku masih ada tugas yang belum selesai.
“Om kesini lagi
nggak,” tanya kawan si Agung.
“Ya nanti om ke sini
lagi, sering ke sini,” kataku sedikit berbohong.
“Berapa nomornya?”
kata kawan baru yang tak ikut salat sambil memperhatikan plat nomor motorku di
bagian depan. Waduh!! Cerdas sekali bocah ini, siapa yang mengajari untuk
menghafal plat nomor. “Hahaha.. Kamu pake dilihat plat nomornya segala,” kataku
menertawakan bocah kecil yang coba menghafal plat nomorku.
Usai sedikit candaan
penutup. Di dalam dompetku kebetulan masih ada lumayan uang receh yang
ada saat itu. Uang itu aku berikan pada Agung. “Ini untuk berdua ya, yang
lainnya salat dulu,” kataku. Agung dan rekannya yang aku sebut si sarung hijau
sumringah menerima uang itu sambil mulai berjalan kecil meninggalkan motor. “Ya dah
om pergi dulu ya.. Jangan lupa salat. Daa..” aku meninggalkan parkiran.
---------------
Hm.. Satu cerita dari
sisi lain pekerjaan. Padahal sore itu aku berada di Istiqlal usai mengecek kali ciliwung di masjid Istiqlal kaitannya dengan proyek Jokowi. Dari masjid
Istiqlal aku menuju sevel menteng. Aku selesaikan dua berita dan lanjutkan
dengan menulis catatan ini. Hari yang menyenangkan! :) -Sevel Menteng, 4 Januari 2013-
0 comments:
Posting Komentar