02 April 2007

Ruang Sempit Bernama Hidup

22 November 2006

-05.32 p.m.-

Aahh…!!! Berungkali aku harus terbangun pagi karena telpon dari ***. Ya! orang yang baru aku ‘sakiti’ beberapa hari lalu. ”Cinta harus diawali dengan bijak, dan secepatnya harus diakhiri dengan bijak pula”, begitu orang bijak akan berkomentar tentang keadaanku. Sampai detik pertama di pagi ini, aku masih termasuk orang yang jengah dengan cinta. Persetan dengan CINTA!

Pagi hariku selalu berjalan dalam keterbiasaan. Bangun pagi… Shalat subuh… Dan menunggu kuliah.. Segelas mocacinno selalu setia menemani pagi buta di kosanku, dan sepotong biskuit yang tak pernah bosan aku makan untuk mengganti sarapan. Jengah dengan hari-hari di kosan yang berjalan stagnan, terlalu menbosankan dan menjenuhkan, jika tak ada warna lain yang memperlihatkan semuanya lebih indah.

-09.20 p.m.-

Hari ini terasa agak bebas sebetulnya, tidak seperti hari Rabu sebelumnya yang sedikit dibuat mumet dengan bantaian soal-soal mid test kuliah. Memang seminggu kemarin adalah jadwal UTS untuk kelasku, IA. Dan hari ini aku rasakan terlalu berat kakiku melangkah, menginjaki setiap jengkal tanah menuju kampus. Perut yang tak pernah terisi nasi di pagi hari, lagi-lagi berusaha menguji ketahanan daya tubuhku di bangku kampus hari ini. Masalah-masalah pribadi yang kemarin belum sempat aku pecahkan, menambah deretan masalah dengan masalah baru yang menyambut setiap pagiku, padahal sudah terlalu lelah otakku untuk berpikir, dan sudah terlalu berat kepalaku jika melulu diisi dengan hal-hal yang menjengkelkan. Ya, itulah hidup yang menawarkan masalah dan kau harus belajar mencabik setiap masalah itu.

-09.34 p.m.-

Aku tiba di ruang 305 kampus Psikologi. Ternyata hari ini sama saja dengan hari Rabu sebelumnya. Aku datang ke kampus sedangkan Pak Farid dosen sosiologiku telah lama berada di kampus mendahuluiku, CURANG!!

“Assalamu’alaikum, maaf pak terlambat”, sapaku memasuki ruang perkuliahan. Mungkin hari ini hanya terlambat 5 menit, dan terlambat bukan bagian dari hidupku sebetulnya, semuanya hanya kebetulan.. Bangku paling belakang menjadi pilihanku sekarang, mungkin di belakang akan terasa lebih nyaman karena “tidak dituntut untuk benar-benar memperhatikan penjelasan dosen”, mungkin. Kaki kananku ditopang oleh kaki kiriku, atau kedua kakiku akan diletakkan lurus di bangku depanku dengan segera jika keadaannya membosankan. Dan selalu seperti itu posisi dudukku di kampus, karena belajar akan nyaman ketika posisi dudukku terasa lebih nyaman.

-10.58 p.m.-

Baiklah anak-anak, pertemuan kita dicukupkan sampai disini, saya rasa semuanya sudah cukup jelas, dan karena waktu kita sudah habis, jadi silahkan keluar…”. Jelas Pak Farid mengakhiri kuliah hari ini. Ahh.. Padahal banyak yang harus aku tanyakan, tentang teori Adam Smith yang tadi disampaikannya. Bukan dosen jika tidak memberikan waktu bertanya bagi mahasiswanya!. ketusku.

Selama penjelasan materi sosiologi tadi, aku hanya memperhatikan betul apa yang disampaikan dosen, walau dengan ekspesi muka yang sepertinya kurang bersahabat. “Bal, koq mukanya sekarang serem gitu sih?”, tanya Ayu. “Ga ada senyum tuk hari ini yu, semuanya terlalu menjenuhkan”, jawabku dengan hati yang sebetulnya tersenyum.

Selesai sosiologi akan ada mid test terakhir, yaitu mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar (IAD). Masih teringat ketika dua petemuan terakhir IAD yang cukup menegangkan bagiku, karena posisiku ketika itu adalah mempresentasikan bahasan tentang lahirnya suatu ilmu, bersama dua kawaku Ade dan Eva. Dua jam yang menjengkelkan, berada di depan para mahasiswa untuk menjelaskan materi yang bagiku sendiri itu belum jelas, saat-saat yang paling menjengkelkan ketika forum tanya jawab. Amunisi yang mereka siapkan untuk menembakiku dengan pertanyaan-pertanyaan rumit membuatku merasa tegang dan tersudut pada pojok kebuntuan berpikir, dan baru pertama kalinya aku harus presentasi dalam keadaan yang kurang memuaskan. What The Fuck Have I Done!

Terlalu memalukan bagiku menyerahkan semua pertanyaan teman-temanku pada dosen. Tapi, bagaimana pun itu kekalah harus diakui. Aku angkat kedua tanganku di depan cemoohan lembaran kertas buku, yang semestinya aku pahami semua isinya.

-12.42 p.m.-

“AHH..!!! Apa ini..?? Soal-soal yang menggelikan, membelit setiap inci dendrit di kepalaku, mengorek dasar dari kusam otak, memaksa neuron untuk segera memberi respon pada rangkaian huruf-huruf mid test Ilmu Alamiah Dasar. Sial! Menyesal aku harus mengumpulkan reward kemaksiatan pada hari-hari kemarin. Kalau saja aku masih rajin beribadah seperti dulu waktu aku di pesantren, maka tentu tak akan ada dendrit yang ikut berpikir seperti sekarang ini, tak akan ada neuron yang ciut ketakutan, dan semuanya akan lebih dahulu terjawab sebelum indera-inderaku menangkap rangsangan. Mendadak semuanya angkat tangan, ciut dan ketakutan ketika dihadapkan pada keadaan seperti ini. Tapi berkat konstribusi sel-sel, syaraf-syaraf, dan otak yang bekerja optimal dan secara totalitas mengerahkan kemampuan, semuanya terselesaikan juga. “Terima kasih syaraf, yang memintaku menengok lembar jawab temanku di belakang”. Senyumku malu.

-01.48 p.m..-

Siang ini ada waktu sekitar satu jam sebelum masuk mata kuliah Bahasa Indonesia. Akan lebih baik bagiku jika kembali ke kosan sekedar untuk makan siang dan shalat dzuhur. Tapi, sebelum menuju ke kosan, aku sempatkan untuk mampir terlebih dahulu ke “Rumah Cahaya”, Forum Lingkar Pena Ciputat yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari kosan. Hanya sekedar mengobrol dengan Mas Andro (ketua FLP Ciputat), atau menanyakan tentang segala sesuatunya dari Forum yang bergerak dalam kepenulisan ini. Karena aku sendiri telah lama menaruh minta pada menulis. Hanya beberapa puluh menit saja aku mampir ke FLP itu, karena jika berlama-lama shalat dzuhurku pasti akan terlalaikan. -01.50 p.m.-

Maihan dan Kori menyusul mendatangiku di kostan, mereka menunggu untuk meng-copy materi sosiologi dari Pak Farid yang ada di flash disknya Rahma. Tapi ternyata terlalu banyak virus di flash disknya Rahma, jadi sulit untuk dibuka, apalagi untuk dicopy ke flash disknya Kori. Dasar Virus!! Kita terlibat obrolan yang cukup seru di kosan. Memang teman bagiku akan menjadi tempat menyenangkan untuk menyadarkan kekosongan hati atau remuknya perasaan, kapan pun itu. Saking serunya, aku lupa makan siangku yang sudah dibeli dari warung di bawah kosan, hingga mereka pun kembali lagi ke kampus.

-03.06 p.m..-

Belum sempat aku pakai kaus kakiku yang kanan, adzan ashar mengabarkanku untuk segera shalat ashar terlebih dahulu. Ya, shalat harus diutamakan dari segalanya. Selesai shalat aku bergegas menuju kampus, dan sepertinya aku sudah terlambat 30 menit untuk saat ini.

Assalamu’alaikum…”, sapaku pada semua yang ada di ruang itu.

“Kenapa bal terlambat, ga biasanya…”, jawab pak Dani yang sepertinya sudah cukup lama menjelaskan materi barunya.

“Oo.. Engga kenapa-kenapa Pak”, jawabku lagi dengan kepala menunduk.

Untuk saat ini, Pak Dani seharusnya ga usah curang seperti Pak Farid yang lebih dulu berada di ruang perkuliahan. Tapi sayang, aku yang kalah lagi. Walaupun terlambat bukan bagian dari hidupku sebetulnya. Dan hanya Pak Dani yang memahami itu, “Kenapa Bal terlambat, ga biasanya…”. Mata kuliah Bahasa Indondesia. Ternyata, orang yang bisa berbahasa Indonesia pun masih dituntut mempelajari Bahasa Indonesia. Entah seperti apa ketika Bahasa Indonesia cukup untuk dipelajari? Sampai orang Indonesia mampu berbahasa seperti presidennya yang paling fasih berbahasa Indonesia? Atau sampai kita tidak akan pernah memasuki ruang bernama sekolah atau kampus lagi untuk mempelajari bahasa Indonesia? Padahal masalah EYD saja belum banyak dipahami. Jika Bahasa Indonesia menuntut agar kita berbahasa Indonesia yang baik, baku dan sesuai EYD, maka bukan menjadi pemandangan yang asing lagi melihat orang Indonesia berjalan dengan membawa Kamus Ejahan Yang Disempurnakan.

Mata kuliah Bahasa Indonesia selalu diakhiri dengan tugas membuat karangan. Membosankan! Tapi akan mengasyikkan bagiku ketika menulis menjadi hobi. Hingga potongan huruf-huruf pada lembar kertas ini ada karena menjadi ‘ancaman’ dari nilai tugas kuliahku.

-04.00 p.m.-

Di kosan, aku rebahkan badanku di atas karpet hijau, meremajakan otot-otot yang letih, meninabobokan otak yang terlalu jenuh, memanjakan setiap bagian dari tubuh dan memejamkan mata untuk sejenak beranjak pada alam kebohongan bernama mimpi. Mungkin sampai habis waktu untuk ashar aku akan terbangun lagi.

-08.00 a.m.-

Selesai shalat isya, untuk menghabiskan waktu di malam hari aku bersama ketiga kawan kosanku biasa berjalan mengelilingi setiap sudut di daerah Ciputat. Hanya sekedar mencari nasi untuk makan malam. Kita tidak pernah merencanakan dimana tempat yang asyik untuk makan malamnya. Karena itu hanya akan terjawab oleh dimana langkah kaki terhenti. Bagiku aroma sate selalu memaksa kakiku berhenti melangkah. -09.00 a.m.-

Ketika tangis perutku di malam hari telah mereda, kini tinggal aku meredakan “tangis” dosen-dosenku yang menuntut tugas kuliah terselesaikan. Maka malam hari menjadi saat yang tepat juga untuk menyelesaikan tugas-tugas mata kuliah.

-12.00 a.m.-

Aku berada di atas kasur tipisku. Kini, saatnya aku membuka catatan harian, menceritakan cerita-cerita lucu, konyol, sedih atau cerita apa pun itu yang telah aku alami dari mata rantai waktu yang telah kuinjak pada kertas harianku. Aku berpikir suatu saat nanti, potongan-potongan cerita pada buku harianku akan menjadi sesuatu yang menggemparkan dunia di hari depanku kelak. Seperti Multatuli yang berusaha mengungkapkan dirinya pada dunia luas, hingga semua orang tahu siapa dirinya. Atau Gie yang menyusun hari-harinya pada lembar catatan harian yang sampai sekarang setiap orang tahu bagaimana pengembaraan panjang hidupnya. Hingga Gola gong yang berambisi menggenggam dunia dengan tulisan-tulisannya. Sesegera mungkin aku akan menunjukkan pada dunia kalau AKU ADA. Titik terakhir pada catatan harianku mengisyaratkan mata yang telah letih.

- -

Begitulah caraku membunuh waktu, memahami setiap sketsa dari hidup, memaknai setiap waktu yang berputar, atas langkah nyali yang telah menginjak ruang sempit bernama hidup.

Diberdayakan oleh Blogger.