29 Januari 2008

Catatan Perjalanan:

Gila No. 3:

“Baduy! We’re Coming...”

(Kamis, 10 Jan ’08)

Pengalaman demi pengalaman kami kumpulkan, karena manusia yang kaya adalah mereka yang memiliki banyak pengalaman dan mampu belajar dari pengalaman yang dimiliki. Hal ini yang menjadikan kami berani untuk mewujudkan kegilaan no. 3 : “Menginjak Tanah Baduy!!”

Ide ini baru muncul kembali tadi malam saat kami sedang menikmati nasi goreng di HI, (gila no.2). Sebenarnya ide ke baduy ini pertama kali muncul Juni 2007 selesai aku dan teman kampus lain mengadakan acara akhir tahun di Situ Gintung. (baca posting bulan Juni: “Ancurnya 2A”). Tapi baru terwujud sekarang, dan ini menjadi bagian dari rangkaian kegilaan no. 3 anak Villa.

-10.00 a.m-

Di villa (sebutan tuk kontrakan) telah berkumpul 8 orang, para penghuni villa yang jail dan makhluk2 TR!O Jambi.. Kita semua siap untuk meluncur menuju Baduy yang telah lama kami impikan. Tadinya hanya kami berlima yang akan berangkat, tapi karena Trio Zambe juga selalu memimpikan untuk menginjak tanah baduy, maka 3 jam yang lalu kami mengajaknya pergi, dan sekarang mereka telah berkumpul. Sementara aku yang sebelumnya diprediksi tidak akan ikut berangkat, dengan suatu ide cemerlang sekarang sudah benar2 siap untuk ikut berpetualang bersama mereka. Dulu Ibu pernah melarangku pergi ke Baduy, tapi aku pikir engga dengan Bapak.

Pak, iiq mau Rangkas, rumah tmen iiq di sana, nanti pulangnya lngsung ke rumah?

--Ya Hati2

O yeah...!! Karena sms itu aku jadi berangkat ke Baduy. Engga bohong juga, karena memang Adam keluarganya orang Rangkas walau tinggal di Tangerang. Hanya saja tidak disebutkan tujuan utamanya adalah Baduy. Hehe....

-10.20 a.m- Kami telah berada di stasiun Pondokranji, Bintaro. Kereta ke Rangkas baru tiba pukul 11, berarti kami harus menunggu sekitar 40 menit. Dan kejenuhan menunggu, kami manfaatkan untuk membaca dan bergurau.

-11.00 a.m- Kereta merah menuju Rangkas tiba. Ini kali ketiganya aku menaiki kereta, dan sepertinya saat ini akan memakan waktu lebih lama daripada sebelumnya.

Suasana kereta selalu menjengkelkan bagiku, berdiri berjejalan dengan penumpang lain, ditambah pedagang yang terbiasa membuat kegaduhan. Tak ayal bau keringat dan kebisingan menjadi hal yang biasa di kereta merah. “Konon”, masih ada kereta yang lebih baik daripada kereta merah ini, tapi hanya untuk jurusan tertentu, yaitu kereta listrik dan kereta ber-AC.

-13.00 p.m.- Alhamdulillah setelah 2 jam bergelut dengan kejemuan di kereta, kami tiba juga di stasiun Rangkas Bitung. Dari stasiun ini kami masih harus menempuh perjalanan menggunakan angkot menuju Ciboleger, pedesaan Baduy. Maka uang 110.000 harus kami sisihkan untuk men-carter angkot yang akan membawa kami ke Baduy. Adam bilang itu harga yang wajar setelah melalui negosiasi sebelumnya.

Perjalanan ke Baduy ternyata memakan waktu yang sangat lama dari stasiun Rangkas. Selama di perjalanan kami hanya mendapati perkebunan karet yang luas, hamparan ladang milik masyarakat desa dan beberapa pedesaan. Jalan panjang yang kami lalui pun cenderung sepi dari kendaraan lain, hanya sesekali motor atau mobil yang melintas. Sepertinya kami benar2 akan menuju suatu pedesaan yang tertinggal, Baduy. Tapi walau merupakan desa yang tertinggal, baduy tetap menjadi objek wisata budaya Indonesia yang terkenal dan menjadi aset kebudayaan Banten yang harus dipertahankan. Aku bangga tinggal di Banten yang memiliki Baduy...!!

-14.30 p.m.- Pukul setengah 3 sore kami tiba di desa Ciboleger, kami sempatkan shalat duhur dan ashar terlebih dahulu di sebuah masjid sebelum menginjak ke dalam perkampungan baduy. Selesai shalat baru kami merencanakan akan berapa lama kami berada di Baduy, karena angkot yang kami sewa tadi akan kembali ke kota tepat pukul 5 sore nanti. Jika tidak menaiki angkot itu, maka tidak ada lagi kendaraan menuju kota, dan ini berarti kami harus tinggal di Baduy dan menunggu hari esok untuk pulang. Di saat kami sedang bergelut dengan keputusan, seorang bapak yang tidak terlalu tua menyapa kami dari luar pagar masjid.

“Dari mana ini De? Mau ke Baduy ya? Biar bapak antar sampe ke baduy dalemnya, biar nanti bapak jelasin hal2 yang boleh dan ga boleh selama di Baduy. Ya.. 30 ribu aja??” tanyanya. Ow, rupanya dia menawarkan diri untuk menjadi guide kami menuju Baduy. “Oh.. muhun Pak, ieu ti tanggerang bade ka Baduy. Tapi wios Pak teu kedah dijajap, sakedap da, sore ieu oge bade uih deui, mung ningalian ti luar baduyna wungkul moal ka lebetna...” Jelasku dengan bahasa Sunda agar lebih akrab. (Proximity!—praktekin teori Gestalt cuy!! He..) “Oh, nuju survei ieu teh?? Nya atuh mangga wae moal oge, upami bade ka dieu deui, taros we Pak Haji Gendut kitu...” “Oh muhun pak, Hatur nuhun”. Seruku mengakhiri obrolan yang pasti tidak akan dimengerti oleh 6 orang Sumatera temanku yang ikut.

Pilihan untuk pulang hari ini atau tinggal di Baduy, masing2 memiliki banyak resiko. Tapi akhirnya kami sepakat untuk segera pulang sore ini juga, karena untuk tinggal di Baduy butuh persiapan yang lebih baik. Kami tidak memiliki uang lebih untuk berada lama di Baduy, dan karena kami masih berada dalam masa UAS. Berarti kami akan berada di baduy hanya selama 2 jam, sangat disayangkan memang setelah jarak jauh yang kami tempuh untuk menuju Baduy.

-15.00 p.m.- Alhamdulillah kami menginjak tanah baduy setelah melalui izin Lurah Baduy. Dan tanpa diharapkan, sekarang di samping kami ikut seorang pria yang kami duga dia seorang guide. Walau telah aku coba katakan untuk tidak perlu mengantar, tapi dia berujar hanya ingin ikut berjalan2 bersama kami dan tidak jadi masalah tidak dibayar sekalipun. Yah.. biarlah, toh nanti kami pasti membutuhkannya untuk menjelaskan kepada kami daerah sekitar baduy, karena ini kali pertama kami ke Baduy, kecuali Adam.

-Berfoto di antara leuit baduy-

Pemandangan yang disuguhkan baduy memang luar biasa indah. Benar-benar sebuah perkampungan yang asri dan bernilai budaya tinggi. Saat pertama memasukinya, kami dihadapkan oleh tampak bangunan yang terbuat dari kayu yang kami pikir itu rumah baduy, namun kemudian kami tahu itu adalah tempat penyimpanan padi bagi masyarakat baduy, yang mereka sebut sebagai leuit. Sementara rumah2 baduy sendiri tidak jauh berbeda dengan kebanyakan rumah panggung di daerah perkampungan seperti Garut yang seluruhnya terbuat dari kayu. Hal unik lain dari Baduy adalah dalam hal berpakaian, mereka semua mengenakan pakaian yang berwarna hitam, dan kain ikat kepala yang berwarna biru.

Kesungguhan mereka dalam menjunjung tinggi peraturan adat sangat kuat. Karena masyarakat yang melanggar aturan adat akan dikeluarkan dari baduy. Masyarakat baduy sendiri terbagi menjadi baduy dalam dan baduy luar, namun secara umum mereka memiliki peraturan adat yang sama. Tidak boleh hidup bermewahan, hidup bergantung pada alam, dan kerukunan antar sesama masyarakat desa.

Baduy luar hidup lebih modern daripada baduy dalam, karena secara geografis pun jelas bahwa baduy luar lebih dekat dengan perkotaan dan diperbolehkan menggunakan transportasi. Sementara baduy dalam, sama sekali dilarang untuk bersentuhan dengan teknologi transportasi. Aku masih ingat ketika sebuah stasiun tv memberitakan 3 orang baduy dalam yang berkunjung ke gedung DPR di Jakarta dengan berjalan kaki tanpa alas. Perbedaan mencolok lain yang membedakan keduanya adalah pada kain ikat kepala yang mereka pakai. Kurdi, seorang guide yang mengantar kami berjalan-jalan di baduy menjelaskan bahwa orang2 baduy luar memiliki ikat kepala berwarna hitam / biru, sementara baduy dalam menggunakan ikat kepala berwarna putih.

Hal lainnya yang terpenting adalah masyarakat baduy telah mengajarkan kita tentang kesederhanaan dan kerukunan antar manusia.

Kami berkunjung hanya di sekitar masyarakat baduy luar, karena untuk dapat masuk menuju baduy dalam harus menempuh jarak yang cukup jauh, sekitar 10 km dengan berjalan kaki. Dan itu akan memakan waktu yang lama, walaupun petualangan akan terasa lebih menantang.

-16.30 a.m- Setelah berjalan-jalan, berdialog dan berfoto bersama masyarakat baduy, akhirnya kami tertarik untuk mencicipi durian khas baduy yang saat itu sedang musim. “Belum ke baduy kalo musim durian di baduy ga nyoba duriannya...” seru Kurdi. “Ya boleh lah...”. Maka, 2 buah durian seharga 17.000 pun berhasil kami bantai di salah satu rumah baduy.

-Hanya 1 dari 100 kemungkinan kamu dapat menikmati Durian dari Baduy-

-16.40 p.m-

Kami meninggalkan baduy dengan suka cita. Dan sebagai penutup acara kunjungan itu, beberapa diantara kami menyempatkan diri untuk membeli kaos bergambar peta baduy dan kain ikat kepala khas masyarakat baduy di salah satu kios. Sementara oleh2 berupa kerajinan baduy seperti gantungan kunci telah kami dapatkan sebelumnya di sela2 obrolan kami dengan masyarakat baduy beberapa saat yang lalu.

Tepat pukul lima sore sebagaimana yang dijanjikan, kami semua telah berkumpul kembali di dalam angkot yang akan membawa kami kembali ke stasiun. Petualangan menginjak tanah baduy pun usai, alhamdulillah...

-18.15 a.m- Kami tiba di stasiun Rangkas di saat malam mulai menggantikan siang. Kepalaku pusing berat sejak perjalanan pulang tadi, uuhh... rasanya ingin muntah ketika turun dari angkot, andai saja aku tidak bersama teman2ku ini, maka tentu tidak akan aku tahan sekuatnya untuk muntah. Mungkin karena perut yang kosong sejak pagi tadi, dan kehilangan waktu makan siang di perjalanan. Tapi sepertinya hal itu juga sama dialami temanku yang lain, terlebih karena jalan menuju baduy yang berliku dan berkelok-kelok.

Di stasiun, kami hanya mendapati kereta yang akan menuju Parung Panjang. Sementara kereta menuju Bintaro hanya akan tiba pada pukul 10 malam nanti, itu pun kereta barang.

Aku memutuskan ikut bersama yang lain menuju Parung Panjang, karena dugaanku, dari Rangkas menuju Serang cukup jauh, dan sepertinya uangku tidak akan cukup untuk ongkos pulang. Jadi, aku berharap dapat menemukan mesin ATM di Parung Panjang nanti untuk melanjutkan perjalanan pulang. Begitu juga temanku yang lain yang mulai kehabisan uang dan berharap dapat mengisinya kembali dari mesin ATM. Kereta akan berangkat meninggalkan stasiun. Tiba-tiba HP-ku berdering..

Ternyata Bapak memintaku untuk pulang langsung ke Serang melalui Pandeglang, karena Bapak bilang jaraknya dekat dan ongkos yang kurang dapat diambil di ATM yang ada di Rangkas. Maka atas saran itu, aku bergegas berlari menuju pintu gerbong kereta karena kereta hendak melaju. Di saat kereta mulai bergerak maju, aku berhasil meloncat keluar dari kereta dan sempat bertabrakan dengan pedagang asongan yang hendak masuk ke dalam kereta di pintu yang sama. Dan sesaat setelah aku turun, aku melihat kereta itu benar2 telah pergi menjauh membawa 7 orang temanku menuju Parung Panjang. Huuuffhhh... Nyaris saja aku celaka... Maafkan aku temanku, aku tidak sempat berpamitan.

Malam itu, aku berjalan menuju pasar di dekat stasiun. Mencari mesin ATM untuk menambah ongkos yang mungkin kurang. Tapi sepertinya di pasar seperti ini tak mungkin menemukan mesin ATM.

“A, kalo angkot yang ke terminal Rangkas yang mana?” tanyaku pada seorang penjaga toko sepatu. “Oh, stasiun Mandala, tu naek aja yang merah itu.” Jelasnya menunjuk salah satu kendaraan yang masih menunggu penumpang.

Hingga tiba di stasiun Rangkas, aku belum juga menemukan mesin ATM. Stasiun Rangkas sangat sepi dan sepertinya rawan dari kejahatan, padahal waktu itu masih jam 7 malam. Bapak bilang bis menuju Serang memang ada, tapi sangat jarang. Maka setelah bertanya pada salah seorang penumpang di angkot, aku putuskan untuk menggunakan angkot lagi menuju Pandeglang. Dan ternyata untuk ke Pandeglang hanya membutuhkan waktu 30 menit dengan biaya 6.000 rupiah. Itu jauh lebih cepat dan murah daripada yang aku bayangkan sebelumnya.

-07.30 a.m-

Aku tiba di Pandeglang, kota yang sudah aku kenal sejak kecil karena nenek tinggal di kota ini. Jadi untuk menuju ke Serang dari kota ini, aku tidak perlu khawatir tentang segala sesuatunya. Hanya membutuhkan waktu 1 jam dan ongkos 6.000, maka aku bisa sampai di Serang kembali.

Selama di angkot menuju Serang, aku tertidur beberapa kali. Sepertinya tubuh ini mulai terasa letih karena perjalanan selama hari ini. Angin malam yang keras menerpa wajah, seakan membuatku bangga karena telah berpetualang dari Jakarta hingga Baduy dengan modal keberanian dan kebutuhan akan pengalaman.

Tanpa terasa aku telah tiba di Serang. Dari tempat angkot itu berhenti, aku harus menaiki ojeg selama 15 menit untuk tiba di rumahku kembali.

-10.40 a.m- Alhamdulillah... Aku tiba di rumah malam itu. Di rumah hanya ada Ibu sementara yang lain sedang berada di luar. “Iq udah makan??” tanya Ibu. “Belum Bu, tadi engga sempet...” “Emang iiq engga dikasih makan di rumah temen iiq??” tanyanya lagi. “Oh.. Engga Bu, ke rumah temennya ga jadi, soalnya cuma ada waktu 2 jam di Rangkas, jadi dipake maen ke Baduy bareng yang lain. Nih dari Baduy...” Jelasku sambil menunjukkan gelang akar yang ku kenakan di pergelangan tangan kanan, oleh2 dari Baduy.

“Ya udah makan gih...!!”

Aku memberi kabar kepada temanku yang lain bahwa aku telah sampai di rumah. Dan ternyata pada malam hari ini mereka tidak langsung kembali ke Jakarta, karena tidak ada lagi kendaraan yang beroperasi pada malam hari. 7 orang temanku itu berkunjung ke rumah salah seorang temanku yang berada di Serpong, untuk menginap satu malam sebelum melanjutkan lagi perjalanan pulang besok pagi. Ya... semoga mereka cepat kembali juga.

------

Kawan... aku telah menginjak Baduy, tanah yang sejak lama aku impikan. Tidak perlu dibanggakan memang, karena suku Baduy berada satu propinsi denganku. Tapi bagaimanapun, itu pengalaman berharga bagiku dan bagi kawanku yang lain. Dan aku berharap akan banyak tanah dan negeri lain yang akan ku injak, sekalipun hanya bermodal keberanian dan kebutuhan akan pengalaman... Kawan, tanah mana lagi yang akan kita injak??!!

-Baduy : Unforgetable Moment!!-

-Baduy yang melahirkan Nazi Baru, (NEO-NAZI)-

---Thx kawan untuk semua pengalamannya... itu sangat berharga bagiku :)

21 Januari 2008

Gila No. 2: Ngakak di bawah Monas

-Rabu, 09 Jan ’08-

Ini Ide gila kedua yang ada di otak butex anak2 Villa, setelah ide gila pertama: “UAS dan Keajaiban Bersedekah...

Malam itu, ketika waktu membunuh angka 7 pada malam hari, dan di saat kita semua anak VILLA sedang berada di kontrakan, tiba-tiba Ade berseru:

“Woi, daripada engga ada kerjaan, mau engga pada jalan-jalan keliling Jakarta? Iseng aja lah... ntar juga ketemu tempat yang asyiknya di mana”. “De, Jakarta sih itu-itu aja tempatnya, ga da yang aneh...” jelas Fajar. “Ye... kemana keq!! gw dah biasa kayak gitu, jalan aja sembarangan, daripada diem di kosan.” Timpal Ade. “Ya dah, gw setuju. Beneran ne? Pokoknya musti jalan ampe cape’ tu kaki. Kita cari tantangannya di sudut-sudut kota Jakarta ok?” Jelasku. “Gw sih ok aja...”. Tambah Obi yang disambung dengan anggukan kepala Adam. “Ya dah, semuanya mandi dulu gih, kita siap keluar malem ini...” tambah Ade mantab.

-19.35 p.m.-

Semuanya telah selesai mandi dan shalat Isya, kemudian bersiap-siap dengan kostum masing2. Semuanya membawa KTP untuk antisipasi kemungkinan hal2 terburuk yang mungkin terjadi, kartu2 lain yang biasanya memenuhi dompet, kali ini tidak diikutsertakan. Alat komunikasi tentunya selalu dibawa, kecuali Obi, karena HP-nya memutuskan diri untuk “bercerai” dari Obi seminggu yang lalu. Jadi alat komunikasi yang dibawa Obi hanya telepati. Hahaha...

“Busyet!! Udah kayak mau ke mana aja neh...” seru Obi.

Maka kita pun beranjak pergi dan berjalan sampai di simpang empat Kampung Utan.

“Jadi sekarang mau ke mana ne De?? Kalo jalan dari sini ga da yang rame, ciputat, Bintaro, Cilandak.. ga seru..” tanya Fajar.

“Kita mulai dari Blok M aja, dari situ kita startnya, liat-liat gedung keq nantinya...” jelas Ade. “Ooo.. dari tadi ternyata kita cuma mau nganterin orang norak jalan2??!!” seru Fajar.

Wakakakakak..... “Dah lah makan dulu ne... biar tenangan dikit jalannya.” pinta Obi. “Makan menyebabkan ke-Bego-an, dah makan ngantuk, ngantuk ya tidur...!! “ jelas Fajar. Hahahaahaa......... Ngakak terus...

“Jadinya ke mana? Blok M aja yakin?.” Seruku. “Kayaknya ke Bogor asyik tuh... Kebun Raya. Malem ini jalan2 di Bogor, terus tidur di pinggir jalannya, paginya baru masuk Kebun Raya...” Jelas Adam. “Asyik juga tu... jangan ke kota mulu jalannya, kan seru kalo jalan banyak pepohonan.” tambah Fajar. “Bogor tar lagi deh... sayang ne ga da yang bawa kamera, momentnya bakal bagus banget tu di Kebun Raya, agenda berikutnya lah....” seruku. “Ya dah, agenda berikutnya ne...” Tambah Obi. “Woii, tu mobil P16 yang mau ke Blok M, naek ga nih...??” terang Adam. “Ya naek, naek...” seru Ade.

Maka kita semua menaiki bis yang akan melaju menuju daerah Utara Jakarta itu.

Butuh sekitar 30 menit untuk perjalanan dengan bis di malam hari, tapi ternyata bukan di Blok M kita berhenti, kita berhenti di Bundaran HI. Entahlah maksudnya apa, tapi aku mulai menikmati perjalanan malam ini... pastinya karena bersama anak2 gila—tanpa tanda kutip--.

Kita berjalan-jalan sepanjang Grand Indonesia, maka di sepanjang pinggir jalan itu jajaran pedagang malam menyambut kami, dan entah mungkin karena memiliki daya tarik tersendiri, kita berhenti di salah satu pedagang yang tak asing lagi bagi kita, nasi goreng. Ya, kita makan malam itu dengan menu nasi goreng, spesial dari HI... “Gimana engga keren coba, makan nasi goreng aja di HI...” Terang Fajar. Hahahahahaa.....!!

Selesai menikmati nasi goreng ala HI, kita mulai berjalan menuju bundaran HI.

Mall dan Apartement Grand Indonesia relatif sepi, padahal masih jam 8 malam. Tapi maklum lah, karena ada beberapa gedung juga yang baru dibangun, konon ini bakal jadi Mall terbesar di Indonesia. Di jalanan sekitar HI orang-orang terlihat cukup ramai berlalu-lalang, dan beberapa pengendara motor yang banyak terparkir di pinggiran jalannya.

Kita terus berjalan, mengamati sekitar, menyebrang jalan yang dijejali kendaraan, hingga kita sampai di depan kolam air Bundaran HI.

Setiba di pinggir kolam air itu, aku benar2 takjub dibuatnya. Luar biasa! Sungguh arsitektur yang indah. Aku salut pada Soekarno dalam kapasitasnya sebagai seorang Insinyur, beliau cerdas dan berani membuat “genangan air” di tengah sesaknya ibukota.

Kita duduk-duduk di pinggir kolam itu. Dan untuk sesaat kita menikmati kesegaran yang ditawarkan oleh berkubik-kubik air di tengah kota Jakarta ini.

“Bi, coba kalo Bung Karno bukan insinyur, gw yakin kolem ini ga bakal ada. Tapi karena dia insinyur, dia bisa buat karya2 di Jakarta kayak gini, sama juga tu kayak monas..” Jelasku pada Obi.

-Di salah satu sudut bundaran HI itu kami melepas penat- (bundaran tak memiliki sudut cuy..!! Hehe..)

Maka penat dan jenuh pun seakan larut dibawa riak air yang terus bergemuruh dan memancar keluar diantara patung tani yang menjulang di tengahnya. “Jar, lo mau engga gawe dapet gaji satu juta per-bulan??” Cetus Obi. “Apaan??” “Gampang! Lo gantiin aja Patung Tani yang ada di atas sana gih...” jelasnya sambil menunjuk ke atas tempat patung itu berdiri. “Sialan lo!!”

Kita cukup menikmati suasana HI malam itu, walau hanya sekedar duduk2 dan bergelut dengan ocehan2 konyol khas anak2 villa gila. Yang jika sampai kiamat tiba pun, ocehan2 itu tak kan pernah mungkin dicetak menjadi sebuah buku, terlalu konyol!!

“Woi, lanjut jalan donk...Baru nginjek HI ne..!!” teriak Ade.

-21.45 a.m- Kami bertolak dari HI. Dan sesuatu yang tidak bisa dianggap kebetulan pun terjadi. Beberapa langkah saat kami meninggalkan Bunderan HI...

“Bal, lo liat tu, aernya mati... berarti ngerti tu aer, dia bakal mati klo kita dah pergi...” Seru Fajar sambil menunjuk ke belakang, dan sekarang air mancur di bundaran HI itu benar2 mati tepat di saat kita baru beranjak pergi. Hahahahaha.....

Kali ini kita benar-benar berjalan, (tadi boonk-an), menaklukkan pinggiran gedung-gedung tinggi yang angkuh dan congkak berdiri. (yee...cuma pinggiran gedungnya doank..Hehe)

Entah jalan apa ini yang sedang dijajaki. Kita melewati MU-CAFE, lalu berbelok ke sebelah kanan. Dan di tengah perjalanan, tampak di seberang jalan sepasang bule tengah berjalan dengan gaya jalan yang terburu-buru..

(Aku mengerti, mengapa para bulewan dan bulewati biasa berjalan cepat dan selalu terburu-buru?! Itu karena mereka sadar akan dosanya!! Ya, mereka berkejar-kejaran dengan malaikat pencatat amal buruk. Jika lambat sedikit saja dalam berjalan, maka tentu mereka akan tertangkap razia malaikat dan dicatat amalan2 buruknya itu...) Hehe.. Peace buLe, pisS...!!

Ide gila muncul untuk membuntuti sepasang bule penuh dosa itu. Tapi sayang, baru saja ide itu muncul, mereka malah berbelok menuju jalan lain yang bukan jalan pilihan kita. (Karena jalan kita adalah jalan yang lurus—Sirathal Mustaqim, bukan jalan berbelok yang sesat). Dan sepertinya bule itu membaca pikiran kita, jail juga tu bule...

Setelah gagal membututi bule, lalu kita memasuki satu daerah yang awalnya kita tidak ketahui daerah apa itu. Sebuah jalan tapi tidak terlalu lebar, dengan kafe di kiri kanannya, dan untuk beberapa kali kita berpapasan dengan bule2 gila lain, (tidak lebih gila dari kita koq).

“Hai seksi Lady...” Goda bulewati kepada teman sesamanya sambil menyentuh bagian paha atas temannya itu. Uuhh... apaan tu maksudnya Le??

Beberapa kafe tampak disuguhi dengan musik2 karaoke, aku mengenal salah satu lagu yang dinyanyikan, itu welcome to my paradise-nya Steven and Coconuttrezz. Beberapa bule tampak berkerumun, diantaranya hanya memadati jalan2 di luar kafe. Keluar dari jalan itu, sebuah papan nama terbentang di ujung jalan itu.

WISATA MALAM

“O yah... ini Jalan Jaksa, gw tau ne...” jelas Ade.

Kalo Ade bilang ini Bali-nya Jakarta, di mana sepanjang jalan ini akan selalu dipenuhi bulewan dan bulewati yang mencari kesenangan tersendiri pada malam hari.

“Woi, tu monas...!!” seru Fajar sambil menunjuk puncak monas yang tampak waktu kami baru saja keluar dari jalan Jaksa.

“O yeah... dah deket ma monas lagi ne.. ayo ke sana Jar...” Timpalku girang.

Dengan suka cita, kita pun meneruskan perjalanan menuju monas, tampak dekat memang dari jalan Jaksa, tapi ternyata jauh juga jika ingin melihat dari dekat.

“Uuhhh... dah nyampe monas lagi ne.. Keren, keren.. bisa jalan gini ampe Monas!!” seruku ketika kami baru memasuki gerbang monas.

Maka perjalanan benar-benar terasa menyenangkan, letih berjalan pun terbayar dengan pemandangan indah di depan kami saat itu. Monumen Nasional yang kokoh berdiri.

Kita duduk di bahu jalan tepat di bawah monas, merebahkan badan dan duduk senyaman mungkin dalam kekonyolan yang mulai dihadirkan kembali anak vila.

-22.50 a.m.-

Malam ini adalah malam tahun baru Islam. Tapi mengapa tidak ada juga panggung yang berdiri?? Tidak tampak manusia yang rela berjejalan untuk bertahun baru di sini seperti tahun baru beberapa hari yang lalu?? Ke mana mereka?? Juga kendaraan2 mereka yang seharusnya memadati area parkir monas untuk merayakan tahun baru Islam? Tidakkah mereka melihat mana yang lebih berarti daripada Islam?? Hmm...Sepertinya rupa agamaku tidak lagi bisa dibanggakan. Islam cukup sebagai status. Dan mereka kehilangan ruhnya. Batinku bergumam

Beberapa orang tampak berlalu-lalang di sekitar halaman Monas. Mereka berjalan-jalan, bahkan ada yang tampak sedang berolahraga. Ya wajar jika sekarang monas dikunjungi beberapa orang, karena besok adalah hari libur nasional.

“Dan monas pun bergelagak tawa bersama kami dalam kekonyolan...”

Tidak pernah kami mendapatkan malam senikmat itu. Dan tidak pernah kami bergelagak ngakak sepuasnya kecuali saat di bawah monas itu. Tentu saja itu karena ide ngocol Fajar yang sedang berlumeran keluar dari otaknya yang butex.

“Duh, keren ne kalo ada kopi...” seru Ade. “Mas, kopinya Mas...??!!” tanya penjaja kopi yang kebetulan melintas di samping kita. “Nah... doa lu terkabul De, baru aja minta kopi, nih dia dateng...” terang Adam “Ya Mbak, kopinya satu deh...” Jelas Ade. “Malam yang luar biasa! Nasi Goreng HI tambah kopi Monas...” Imbuhnya.

-00.01 a.m.-

Alhamdulillah... kita baru saja menginjak tahun baru Islam. Suara kembang api terdengar dari tempat yang jauh, rupanya masih ada orang-orang yang mau merayakannya. Syukur lah..

Walau malam sudah cukup larut, tapi kami masih nyaman dengan angin sejuk yang ditawarkannya. Langit di atas monas terlihat cerah dengan beberapa bintang yang sepertinya bintang2 itu justru menikmati malam, bukan menyuguhkan malam seperti bulan.

“Besok ke Baduy yuk??” tanya Adam di tengah2 obrolan. “Boleh juga tu.. gila, sekalian gila. Kita ke Baduy besok nih...” Ade menyahut. “Oke-okeh... kita berangkat besok.” Tambah Obi dan Fajar mantab. “Ongkosnya murah koq, bawa 20 ribu juga cukup untuk pulang-pergi, kan naek kereta yang 2.500. Bal lo gimana?” tanya Adam lagi. “Gw, ga yakin bisa ikut. Nyokap pernah larang gw ke Baduy waktu kita ada rencana ke Baduy selesai acara di Situ Gintung dulu. Tapi gw pengen nih... Tar deh gw pikirin lagi.” Jelasku.

Maka sejak dicetuskan ide gila untuk pergi ke baduy nanti pagi, aku dibuat bingung bagaimana caranya aku bisa ke sana, sementara Ibu pernah melarang itu. Ah.. inferioritas!!

-00.20 a.m.- Kita sudah cukup lelah terbahak-bahak, dan sudah terlalu lama bergumul dengan malam yang tidak selamanya menawarkan kesejukan. Maka kami pun beranjak pergi meninggalkan monas dengan mengambil jalan keluar yang berbeda dari jalan masuk tadi.

Tepatnya, kami meninggalkan monas untuk kembali menjajaki detik-detik malam. Kami ingin melebur menjadi bagian dari pekat malam, menjadi substansi dari angin, dan akan menghilang bersama kegaduhan yang lenyap ditikam malam.

Setelah berjalan beberapa puluh langkah dari monas, kami berhenti dan duduk tepat di halte yang berhadapan langsung dengan Bank Indonesia. Saat itu tubuh kami mulai terasa lelah, sulit untuk terbahak-bahak lagi. Hanya gurauan dan obrolan yang tersisa. Maka di halte itu kami menunggu angkot yang akan menuju ke kebayoran.

-00.40 a.m.-

Kami naik angkot menuju pasar kebayoran.

Selama di angkot, mataku sudah terasa sulit untuk terjaga, beberapa kali aku mengantuk. “Bal, lu di sini duduknya ne.. jangan di pinggir pintu gitu, jatoh lu..” Pinta Fajar yang diamini Ade. Aku tahu bahwa saat itu hanya aku yang benar2 telah mengantuk. Tapi aku hiraukan saran Fajar, dan aku mencoba menahan rasa kantuk yang sangat malam itu. Bahkan aku tertidur untuk 1 hingga 3 menit di angkot, untungnya tidak sampai terjatuh.

Jam menunjukkan pukul 1 malam. Kita tiba di kebayoran, tepat di depan pasar kebayoran yang sudah dipadati “manusia2 pasar”. Ternyata sekalipun telah turun dari angkot, mataku masih memaksa untuk tidak terjaga. Setelah ku lawan semampu mungkin dengan melihat-lihat aneka barang dagangan yang dijajakan di pasar, perlahan mataku mulai bersahabat. Dan kita pun berjalan-jalan di sepanjang pasar. “Duh, sekalian aja belanja buat villa, sayuran keq, apaan aja dah...” seru Fajar.

Karena kami bukan manusia yang biasa berurusan dengan pasar, maka kami bingung sekiranya apa saja yang harus dibelanjakan untuk kepentingan kontrakan. Hingga akhirnya, hanya satu buah semangka seharga 5ribu yang berhasil kami bawa pulang ke villa. Dari pasar kebayoran, kami menlanjutkan perjalanan menaiki kendaraan ke arah ciputat.

-01.30 a.m.-

Kami tiba kembali di villa.

Setelah mencuci muka dan bersikat gigi, aku bersiap untuk benar2 tidur malam itu. Merebahkan tubuh yang terlalu letih, meremajakan otot yang lemah bergerak, dan mengistirahatkan setiap bagian dari sudut2 otak, serta meninabobokan diri dalam mimpi yang absurd.

---Terima kasih malam, kau telah menawarkan sudut terindahmu untuk kami nikmati dalam kekonyolan, dan untuk segalanya yang telah mewujudkan kegilaan no. 2.

Next Story :

Gila No. 3: “Baduy! We’re Coming...!!”

12 Januari 2008

Gila No. 1: UAS & Keajaiban Bersedekah

-Senin, 07 Jan ’08-

Apa jadinya kalau UAS tinggal nunggu satu hari lagi sedangkan belum ada yang dipersiapkan sama sekali?? Hmm..bingung banget tu, apalagi UASnya besok UAS Filsafat ma Psikologi Pendidikan, Uuhhhh...mumetz pasti! But, don’t worry!! Ternyata anak2 Vila Gila punya jurus jitu yang belum pernah ada di perguruan silat manapun... Check this out!

Mengambil dari kata-katanya Aristoteles dalam Simposium-nya: “Setiap kebaikan akan berbuah kesuksesan...” Maka, kami yakin (haqqul yakin) yang harus kami lakukan untuk sukses UAS adalah dengan jalan kebaikan.

Siang itu kami bertiga (Iqbal, Obi, Fajar) sedang dalam pembantaian setengah nangka dari satu ukuran nangka yang cukup besar sisa kemarin.. “Bi, nangkanya digoreng aja yuk?” seruku pada Obi. “Boleh, kita goreng aja ne...??” tanyanya kembali. “Ok, gw bisa gorengnya ko, tinggal dipotong-potong kecil, kasih terigu, terus celupin ke kuali, gampang kan...” jelasku.

Maka prosesi penggorengan pun berjalan baik, tidak membutuhkan waktu lama, hanya keuletan dan kesabaran yang kami butuhkan, hingga nangka goreng pertama pun bisa kita nikmati dengan puas...

-Nikmatnya nangka goreng, Alhamdulillah lezatnya...-
“Hm, enak ne goreng nangka... Keren... keren Bal..!!” seru Fajar “Yoha... Gurih kan? Bener2 ne gw aja ga pernah bikin gorengan seenak ini Dut! hehe..” Timpalku. “Lanjut, lanjut...!!” Obi meng-amini. Satu piring nangka goreng pun berhasil kami ciptakan. Ok, aku beri tahu apa formula nangka ajaib ciptaan kita ini (ssttt...!!) ini dia:
  • Pilih nangka jangan yang terlalu matang agar terasa lebih gurih.
  • Gunakan Tepung terigu dan tapioka perbandingan 1 : 1.
  • Gunakan air secukupnya.
  • Pastikan minyak tersedia cukup untuk penggorengan.

---------- Siang itu jam menunjukkan pukul 12.00, maka otomatis nangka goreng ini adalah makan siang kami..

“Bi, nangkanya kita goreng yang banyak aja yuk? Terus bagiin tetangga sebelah tu, biar kita akrab ma mereka. Kali-kali keq kita berbagi, Gimana??” “Beneran ne? Ide keren tu, dah lah... UAS tu belakangan, saatnya kita berbagi”. Jelasnya. “Cukup ga nangkanya ne??” tanya Fajar. “Di pohon masih ada satu lagi yang mateng, jadi ditambah ini cukup koq untuk dibagiin ke empat keluarga di sebelah..” tukasku Maka, prosesi penggorengan akan kami lanjutkan ke tahap yang lebih serius dan dalam partai yang lebih besar kali ini, karena percobaan pertama tadi dianggap berhasil.

*** Pohon nangka di depan kosan kami memang sangat produktif, buahnya terkenal dengan rasanya yang manis dan pasti berbeda dengan nangka-nangka yang lainnya. Hampir setiap minggu ada saja yang matang, bahkan 2 nangka dalam satu hari. Ga sia-sia ngontrak rumah yang ada pohon nangkanya. Hehe...

*** Satu setengah nangka pasti sudah cukup untuk dibagikan ke empat keluarga, apalagi nangka yang ada ini adalah nangka yang tepat untuk digoreng, tidak terlalu matang.

Nah, ketika semua bahan yang ada untuk penggorengan telah tersedia... “Oya gw lupa, siang ini jam 1 gw ada kumpul di kampus, gimana neh? Sore aja deh goreng nangkanya?” tanyaku gusar. “Ya dah potong-potong aja dulu, ntar sore baru kita goreng...” jelas Obi.

Tiba pada pukul 01.00, semuanya telah selesai dipersiapkan, tinggal proses penggorengan. Maka untuk penggorengannya kita pending hingga sore hari, atau lebih tepatnya sampai aku kembali ke kosan lagi. Dan untuk membuat nangkanya tetap segar dan formulasi lain tidak berubah, kita simpan sementara semuanya di lemari pendingin. “Ya dah, gw mu mandi, shalat, terus cabut ke kampus... Lo jangan pada kemana-mana ampe sore, tunggu ok?” “Ya dah cepet mandi lu...” seru Fajar.

-16.00 p.m.- Aku tiba kembali di kosan (Villa) tercinta. Kumpul di kampus siang ini cuma bahas beberapa masalah, tapi cukup mengganggu kegiatan di villa yang lebih sakral. Biasa lah... sok sibuk dikit kalo jadi BEM. Hehe... “Bi, Jar... lanjut kaga’ ne bersedekahnya?!” tanyaku. “Lanjut donk... gw shalat dulu ya.” jelas Fajar.

Proses penggorengan segera digelar kembali, kompor diturunkan, formulasi diperbaharui, nangka diseleksi, dan tentu kamera disiapkan...He, “Gila ne, besok UAS woii..”. seruku bergurau. “Alah... lo ga tau apa keajaiaban bersedekah, UAS tu gampang...” Hehe “Ok, kita buat empat piring, Lo tau? Angka 4 itu simbol dari IP yang bakal kita dapet di UAS ini, tanpa perlu belajar!! ya kan?!” jelasku

Hahahahaha...... Gila!! Padahal jumlah rumah kecil di samping kiri kosan kita ada 5 bukan 4. Dan kami merasa perlu berterima kasih kepada mereka walau tidak cukup dengan yang akan kami berikan ini. Di antara keluarga itu adalah penjual lontong sayur yang biasa kita beli untuk sarapan, dan penjual pecel ayam-lele yang biasa kita makan malam.

Dengan suka cita dan kesungguhan, kita kerjakan semuanya. Dan tepat pukul 17.20, kita selesai membuat 4 piring yang tadinya kosong menjadi terisi penuh dengan tumpukan nangka goreng. Tak membuang waktu lama, dibantu Dwi yang sedang ada dikosan, kita segera meluncur ke rumah-rumah yang berada di sebelah kiri kontrakan kita. Masing-masing dengan satu piring nangka goreng yang ditutupi secarik kertas koran.

“Assalamu’alaikum... Bu, ini nangka dikosan lagi pada mateng, kita goreng...” “Oh, iya ya makasih Om...Ada yang lagi ulang tahun ya?” “Oh, engga... Cuma nangkanya lagi banyak aja Bu.” Rumah sebelahnya malah tambah heran dengan kedatangan kita. “Assalamu’alaikum... Pak, ini nangka dari kita, dikosan lagi pada mateng nangkanya,, ya kita goreng...” “Mm... ini siapa ya?” GUBRAKKK!!! “Anak-anak kosan sebelah Pak...” terangku. “O, ya ya.. makasih ya De.. tunggu sebentar piringnya ya.” Duh, Bapak,, bapak, wong kita aja baru tahu kalo bapak penghuni diantara rumah-rumah ini, gaul donk 0m!!. Hehe... Eksepresi yang berbeda diungkapkan penghuni rumah di sebelahnya. “Aduh.. si Mas ini pinter2 nge-goreng ya, makasih Mas...” jelas seorang Ibu. (kita dapet pengakuan pada pinter goreng tu...hehe)

-17.30 p.m.- Waktu bersedekah pun usai. Alhamdulillah... “Bi, lo liat kan pada antusias... jadi gampang tu kalo kita mau mulai bisnis nangka, anggap aja tadi tuh baru promosi..” seruku. “Oo... Jadi ini maksud semuanya?” tanya Fajar.

HAHAHAHAAAA.......

“Ya engga lha, kita cuma Cari IP 4-nya..” WAKAKAK.... Hehehe...

Keesokan harinya, di kampus selesai UAS mata kuliah ke-2 (Psikologi Pendidikan). “BAL.... keajaiban bersedekah!! pulpen berjalan sendiri di kertas UAS!!!” jelas Fajar “????!!!!” WAKAKAKAKAKAK.....!!! (!@#$%^&*(^>>{"?><.,[@#%^R&*^*&*&) Kita bertiga terbahak-bahak selesai UAS hari itu.

-3 Prof. Gila pembuat nangka goreng (Fajar, Obi,Iqbal..)

---*Tulisan ini dibuat bukan untuk maksud riya, atau sombong, hanya berbagi jurus tentang kebaikan dan indahnya menjaga persaudaraan antar sesama tetangga. J

Nantikan cerita selanjutnya :

Gila No. 2: “Iseng2 di bawah Monas” Gila No. 3: “Baduy! We’re Coming...”

Diberdayakan oleh Blogger.