07 April 2013

Catatan Jurnalis #2

Dari Pilgub DKI ke Gedung Parlemen

-Jokowi saat masa kampanye-


Pilgub DKI (Maret-Oktober)
Hari pertama liputan (6 Maret), aku diminta untuk menuju Kantor KPU DKI mengambil agenda Pilgub. Meski masih hari pertama sebagai wartawan, kantor sudah berpesan ‘mulai hari ini kamu ikutin Pilgub DKI’. Maka meski aku masih floating dan acak mengambil agenda-agenda lain, rupanya agenda Pilgub DKI menjadi prioritas.

Maka mulailah aku membangun jaringan, menjaga komunikasi dengan seluruh cagub dan cawagub, KPU, tim sukes, serta semua yang terlibat dalam Pilgub DKI. Hingga tanpa aku sadari karena sering mengambil agenda Pilgub, rupanya kantor mengandalkanku untuk semua informasi terkait Pilgub DKI untuk beberapa bulan selanjutnya.

Kala itu calon gubernur dan wakil gubernur ada 6 pasangan, (Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat Nur Wahid-Didik, Alex-Nono, Faisal-Biem dan Hendardji-Riza). Dari semua calon, hanya Fauzi Bowo  dan Alex Noerdin, yang tak bisa dikontak langsung, jadi akses informasi hanya melalui cawagub atau timsesnya.

Saat-saat menyenangkan tentu saja saat masa kampanye. Kala itu aku mendapat jatah untuk menjaga agenda Jokowi dan Ahok. Kemana Jokowi kampanye, aku selalu ikut. Itulah mengapa aku merasa senang bisa sempat mengenal dekat dengan orang yang kemudian kita tahu tampil sebagai pemenang Pilgub DKI. Bahkan di luar aktivitas kampanye, aku bisa menelepon langsung Jokowi yang kala itu masih sebagai walikota Solo. Menyenangkan bisa berkelakar dengan ‘tukang kayu’ yang bersahaja. :)

Banyak cerita selama aku menemani Jokowi. Tapi tak mungkin aku ceritakan semuanya, singkatnya bagiku Jokowi adalah harapan, baru kali ini aku melihat ada tokoh yang benar-benar diharapkan masyarakat. Kemanapun Jokowi kampanye, ibu-ibu, anak-anak dan bapak-bapak selalu menyemut dan berebut sekedar ingin melihat dan bersalaman. “Jokowi!! Jokowi..!!” teriak mereka. Bahkan, satu kali di Jakarta Utara, masyarakat patungan ingin memberikan uang receh membantu kampanye Jokowi.. :’)

Pun begitu dengan wartawan, Jokowi sangat bersahaja. Tak perlu melihat dengan siapa dia berbicara, semua sama bagi Jokowi. Aku banyak berbicara dengannya selama masa-masa kampanye, saat di atas kapal menuju Pulau Seribu, atau saat makan siang kala istirahat. Jokowi bagiku pemimpin juga sahabat.

Pernah satu kali di Kelapa Gading, usai Jokowi mengisi kampanye dan bersiap pulang, aku bersama seorang kawan dari Tempo, masih berdiri di sisi jalan, kami sudah selesai liputan. Tiba-tiba Jokowi baru saja akan jalan, kami yang tengah asyik ngobrol, dikagetkan “Hayo! Mau nanya apa lagi..??! hehe...” Jokowi melongok dari balik jendela mobil tepat di belakangku. “Hahaha.. Udah pak, aman. Terimakasih..” kataku sedikit kaget dengan lelucon Jokowi.

Kampanye berlalu, maka tibalah puncak dari Pilgub DKI yaitu hari pencoblosan. Pencoblosan berlangsung dua putaran. Pada putaran pertama Jokowi memberi kejutan dengan mengungguli calon lain, maka pada putaran kedua Jokowi head to head Jokowi dengan Fauzi Bowo. (Ah, pak kumis, sedikitpun aku tak terpikir ia akan memimpin Jakarta lagi).

Menghadapi putaran kedua, tak terlalu sulit bagi Jokowi. Ia unggul telak dibandingkan 5 calon lainnya dalam putaran dua Pilgub DKI. Bagiku, kemenangan Jokowi dan Ahok adalah kemenangan masyarakat Jakarta, aku sepakat itu, bahkan kemenangan masyarakat Indonesia. Sampai tak terasa 8 bulan sudah aku mengawal Pilgub DKI, menemani Jokowi-Ahok sampai mereka dinyatakan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Tanggal 10 Oktober mereka dilantik, aku buatkan satu tulisan terakhir untuk Jokowi dengan judul ‘Jejak Jokowi Menuju DKI-1’. Aku merasa senang mengetahui Jokowi-Ahok dilantik. Mereka begitu dielu-elukan oleh jutaan masyarakat yang ingin menyaksikan Jokowi-Ahok memimpin DKI. Aku senang karena aku merasa menjadi bagian dari kemenangan itu. Namun sayang, saat pelantikan Jokowi-Ahok, aku tak ada di hadapan Jokowi, aku berada di sisi lain. :(

Bahkan sejak beberapa hari sebelum dilantik, aku mulai digeser dan siap-siap untuk mengisi pos baru, Gedung Parlemen, DPR!


Parlemen (Oktober-Sekarang)

DPR, sepertinya menjadi mimpi buruk bagi setiap wartawan. Meski menjaga Pilgub DKI adalah urusan politik, tapi bagiku DPR dunia yang berbeda. Aku tahu betul seluruh pusat sumber informasi politik ada di DPR, bahkan aku berpikir rasanya masa depan negara ini hanya dikendalikan oleh wartawan-wartawan di DPR. Tapi memang, saat diminta mengambil pos DPR, seolah aku disodori sebilah anak panah, sedikit saja salah aku gunakan, maka bisa membunuh ‘orang lain’. (Ini soal kekuatan media).

Aku berikan sebuah ilustrasi, jika kau tak suka dengan tingkah seorang anggota DPR, beritakan saja selama 1 minggu. Running, mainkan isu, telfon semua pihak terkait. Maka aku pastikan bulan depan akan ada evaluasi dan akhirnya Di-PAW, paling tidak ya dirotasi! Itu pernah terjadi. Tapi aku menilai tingkah anggota DPR itu bukan mengada-ada, masalah itu bersumber dari yang bersangakutan. Karena aku tahu betul menulis berita bukan tentang suka atau tidak suka, bukan senang atau tidak senang. Tapi objektif dan independen adalah prinsip yang harus kami pegang.

Maka hingga saat ini, aku masih bersengkarut di lingkaran politik DPR. Pagi, siang, sore, malam saat hendak tidur, dan pagi saat bangun lagi, seolah aku hanya memikirkan politik, memikirkan negara?. Ini jauh lebih pusing daripada memikirkan’mu’. Tapi ya sudahlah, aku senang menulis, pun aku senang berkelit dengan politik. Selama menulis!


Selanjutnya: [Catatan Jurnalis #3] Lebih Dekat dengan Detikcom

0 comments:

Diberdayakan oleh Blogger.